dikutip dari Kompas Minggu, 16 Mei 2010 03:38 WIB
oleh Rakaryan S
oleh Rakaryan S
Usia hubungan Indonesia dengan Iran yang telah 60 tahun idealnya memang ditandai dengan sejumlah pilar yang menjadi pertanda sangat kuatnya hubungan itu. Akan tetapi, faktanya, hubungan kedua negara relatif ”adem ayem”. Tidak ada gejolak dan perselisihan di antara kedua negara, tetapi juga bukan sebuah persahabatan yang sangat kuat dan dinamis.
Padahal, Iran termasuk salah satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia. Hubungan budaya kedua bangsa pun telah membentang sejak berabad-abad lalu. Lantas, mengapa hubungan kedua negara lebih sebatas ”adem ayem”?
Sejarah mencatat bahwa pada masa Orde Lama, Indonesia berhubungan baik dengan banyak negara, termasuk Iran, tetapi bukan hubungan yang sangat dalam. Kondisi politik di dalam negeri yang belum sepenuhnya stabil membuat kemampuan Indonesia berhubungan dekat dengan banyak negara menjadi sangat terbatas.
Ilmuwan politik sekaligus Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Nasir Tamara menguraikan, pada awal 1970-an RI dan Iran mulai berhubungan dekat karena sama-sama aktif di organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC ketika Indonesia masih jadi anggota.
Hubungan pemimpin Iran ketika itu, Shah Reza Pahlevi, dengan Presiden Soeharto sangat dekat. Keduanya dikenal sama-sama berhubungan baik dengan Barat, khususnya AS. Saling kunjung dilakukan kedua kepala negara itu.
Tidak mengherankan ketika Shah Iran kemudian digulingkan oleh gerakan Revolusi Islam pada 1979, Indonesia pun bingung menghadapi hubungan politik dan diplomatik RI dengan rezim baru di Iran.
Takut menjalar
Lebih dari itu, menurut Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, pemerintahan Orde Baru ketika itu sangat takut revolusi di Iran akan menjalar juga ke Indonesia. Euforia keberhasilan revolusi Islam di Iran memang di satu sisi juga membangkitkan euforia di sebagian kalangan umat Islam Indonesia untuk menumbangkan rezim Soeharto.
Oleh karena itu, Presiden Soeharto ketika itu menerapkan kebijakan keras terhadap politisasi Islam di Indonesia, menghalangi orang-orang Indonesia untuk pergi ke Iran, serta mengawasi mereka yang pernah ke Iran dan telah kembali ke Tanah Air.
Meski demikian, Azyumardi menambahkan, pemerintahan Orde Baru tidak mengambil kebijakan melarang penyebaran Syiah di Indonesia. Hal itu karena mayoritas umat Islam Indonesia, seperti terwakili dalam Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan banyak organisasi utama lainnya, tidak memandang Syiah sebagai aliran atau mazhab sempalan.
Baru pada menjelang akhir 1980-an, kekhawatiran pemerintahan Orde Baru terhadap ”koneksi” Iran dan Syiah terlihat berkurang secara signifikan, bahkan boleh dikatakan lenyap dari wacana pemerintah dan publik. Presiden Soeharto pun menyambut hangat kunjungan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani ke Jakarta pada pertengahan Oktober 1994. Pada pertemuan itu, kedua presiden sepakat meningkatkan hubungan dagang dan investasi di antara kedua negara.
Pasca-mundurnya Soeharto, pemerintah demokrasi Indonesia yang dimulai Presiden Abdurrahman Wahid mengembangkan hubungan yang lebih terbuka dan hangat dengan Iran dengan melakukan berbagai usaha peningkatan kerja sama ekonomi dan perdagangan. Pada era ini pula kian banyak mahasiswa Indonesia meneruskan studi ke Iran.
Nuklir Iran
Dilihat dari perjalanan sejarah hubungan kedua negara itu, sesungguhnya hubungan politik dan ekonomi RI-Iran baru dijalin lebih serius dan terbuka pada Era Reformasi ini. Akan tetapi, Indonesia pun harus cerdas dan sangat berhati-hati dalam menyikapi tekanan Barat terhadap Iran terkait program pengembangan teknologi nuklir Iran.
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia yang juga menerapkan demokrasi dengan baik, Indonesia bisa dipastikan akan terus dirayu negara-negara adidaya, khususnya AS, untuk mendukung penjatuhan sanksi terhadap Iran meskipun sudah tidak lagi duduk di Dewan Keamanan (DK) PBB. Rayuan serupa ditujukan oleh AS kepada Malaysia.
Dengan pemahaman dan keyakinan yang tinggi terhadap tujuan damai program nuklir Iran, hubungan politik kedua negara bisa terus terjaga baik, bahkan meningkat lagi dengan peningkatan hubungan ekonomi. Bila Indonesia membiarkan dirinya berada dalam tekanan kepentingan negara-negara adidaya, hubungan dengan Iran yang sudah meningkat pesat bisa kembali stagnan.
Sebagai sesama negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia tidak sepantasnya meragukan tujuan damai program nuklir Iran setelah pemimpin tertinggi sekaligus ulama tertinggi Iran memfatwakan bahwa senjata nuklir itu haram.
Indonesia malah perlu lebih waswas terhadap cara-cara Barat dalam menekan Iran, yang selalu mengatasnamakan masyarakat dunia. Faktanya, selama ini, justru negara-negara adidaya Barat yang kerap menggunakan segala cara untuk bisa mencapai tujuannya, termasuk cara-cara yang menyalahi aturan-aturan internasional.
Di bidang ekonomi, dengan penyikapan politik yang terbebas dari tekanan pihak mana pun, Indonesia seharusnya juga kreatif dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang terbuka lebar dalam berhubungan dengan Iran. Beberapa sanksi yang diberlakukan Barat terhadap Iran memang ada pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi Iran.
Akan tetapi, fakta selama ini menunjukkan ada banyak jalan untuk menyiasatinya, seperti dilakukan Malaysia, China, dan banyak negara lainnya. Terobosan-terobosan dalam hubungan ekonomi RI-Iran itulah yang kini harus digali bersama kedua pihak. Dengan demikian, nilai perdagangan kedua negara yang saat ini baru satu miliar dollar AS, bisa meningkat lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar