Konstruktivisme pertama lahir di dalam situasi yang tengah terjadi perdebatan-perdebatan teori besar seperti halnya realisme, liberalisme, neorealisme, dan neoliberalisme. Ketiga teori besar ini dapat juga dikatakan sebagai teori alira materialism-rasionalisme. Disamping itu juga terjadi perdebatan-perdebatan atau kritik-kritik yang dilakukan oleh teori aliran reflektivis seperti teori marxisme, feminisme, dan posmodernisme, Perdebatan antara aliran materealime-rasionalisme dengan kaum reflektivis seperti ajaran marxis dan feminis sebenarnya dapat dikaitkan dengan pondasi umum ilmu hubungan internasonal. Dua anggapan yang berbeda muncul dari dua kubu yang berlawanan ini. Pandangan aliran reflektivis yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang berada di luar sana pasti mendapatkan pengaruh dan saling berinteraksi dengan lingkungan terhadap konstruksi ilmu pengetahuan bersebeangan dengan apa yang diasumsikan oleh aliran rasionalis bahwa segala sesuatu yang bersifat fakta materi yang berada di luar sana akan bersifat independen dari ilmu pengetahuan yang mana itu bisa berarti interaksi lingkungan tidak akan berpengaruh terhadap perkebangan ilmu pengetahuan karena dianggap merupakan kebenaran mutlak. Segala hal yang terjadi pada dasarnya merupakan hasil dari interaksi social dan konstruksi sosial yang mana dapat dipahami bahwa dengan kata lain kaum reflektivis menganggap bahwa fakta itu sebenarnya tidak ada dan sebaliknya, kaum rasionalis menganggap bahwa fakta itu sebenarnya ada.
Di tengah situasi kebingungan inilah konstruktivisme lahir. Dapat dikatakan bahwa paham baru ini lahir sebagai mata rantai penghubung terhadap perbedaan yang begitu mendasar antara teori rasionalis dengan reflektivis. Secara mendasar, teori konstruktivisme memberikan pandangan umum bahwa sebenarnya sesuatu yang dianggap fakta atau realitas ilmiah itu bukanlah sesuatu yang alamiah. Alamiah dalam arti muncul begitu saja. Realitas sosial tidak bisa muncul secara sendirinya. Ini artinya realitas sosial tidaklah bersifat independen dari segala bentuk interaksi akan tetapi juga tidak benar jika realitas ilmiah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat nihil atau hanya refleksi dari ide pemikiran manusia. Ini berarti ada penolakan terhadap dua pemikiran besar di HI yaitu rasionalisme dan reflektivisme.
Seperti apa yang saya tulis diatas bahwa teori konstruktivis merupakan mata rantai penghubung dari perdebatan dua aliran teori besar. Asumsi yang secara mendasar berbeda diatas dipertemukan ke dalam satu titik temu sehingga menghasilkan jalan tengah bagi kedua aliran. Titik temu konstrutivis terdapat pada pemahamannya tentang realitas sosial. Setelah mengkritik aliran rasionalis dan reflektivis akhirnya konstruktivis menetapkan satu argument bahwa sebenarnya realitias sosial tidak benar-benar alamiah atau ada dengan sendirinya (given) namun juga tidak sepenuhnya nihil. Realitas dunia ini dipandang sebagai satu hal yang selalu berbasis pada fakta yang secara materi dapat dibenarkan atau tidak secara empiris namun fakta itu tidak menentukan bagaimana manusia melihat realitas sosial. Disisi lain, realitas sosial hanyalah dianggap sebagai hasil dari konstruksi sosial. Di dalam salah satu tulisannya, Emanuel Adler (1997) menyatakan bahwa pandangan konstruktivis mengarah pada sudut pandang bahwa ada suatu pola dimana dunia materi paa dasarnya terbentuk dan dibentuk oleh tindakan dan interaksi manusia yang tergantung pada interpretasi terhadap dunia materi yang tentunya berbeda karena adanya perbedaan latar belakang secara normatif dan epistemik. Untuk mempermudah memahami definisi ini akan saya berikan satu bentuk analogi. Jika ingin berpakaian rapi dan resmi, yang menjadi penentu adalah pakaian apa yang akan kita pakai untuk memperlihatkan kita berdandan rapi dan resmi. Namun sebaliknya, konstruksi pikiran kitalah yang nantinya menentukan pakaian apa yang tepat dan semestinya dipakai (seperti jas dan celana kain resmi) atau mungkin akan ada sedikit keterbukaan pikiran untuk menggunakan sesuatu yang bukan disebut jas asalkan menurut pikiran kita pakaian tersebut bisa digunakan untuk menampilkan penampilan yang rapi dan resmi. Dengan kata lain konstruksi pikiran membuat realitas sosial menjadi tidak tetap dan tergantung kepada siapa yang memikirkannya.
Setelah menjelaskan secara cukup komprehensif mengenai latar dan asumsi dasar teori konstruktivis, dirasa perlu bagi penstudi Hubungan Internasional untuk memahami bagaimana konstruktivisme menaruh pandangan terhadap realitas Hubungan Internasional. Secara mendasar pandangan konstruktivis pada hubungan internasional merupakan kritik terhadap pemikiran neorealis. Pandangan mengenai dunia anarkis yang dicetuskan oleh kaum realis dan neorealist seolah bersifat alamiah dan “serba membolehkan”. Istilah “serba membolehkan” saya gunakan disini karena setiap negara memungkinkan untuk bersikap seenaknya karena tidak ada yang mampu melarang mereka. Oleh karena itu perang sering terjadi. Dalam hal ini tidak ada pihak yang mencegah perang sehingga perang terjadi karena sifat manusia yang dikatakan seperti serigala yang haus akan pertikaian. Secara konstruktivis maka dapat dinalogikan seperti ini. Jika satu negara menyerang negara lain dan ada balasan dari negara yang diserang untuk mempertahankan diri maka itu hanyalah sifat alamiah manusia atau negara yang merupakan kumpulan manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem internasional yang anarki dan sifat negara adalah berbeda. Sifat anarki bukan muncul begitu saja namun terjadi karena interaksi antar negara. Konstrutivis berargumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga membentuk struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada tujuan dan maksud yang dimiliki masing-masing. Setiap tindakan negara selalu didasari oleh maksud tertentu dengan interaksinya di lingkungan internasional dan tentunya berpengaruh terhadap bentuk sistem internasional dan sebaliknya sehingga membentuk satu bentuk ikatan saling mempengaruhi yang nantinya berujung pada pembentukan satu sistem yang mengatur perilaku negara.
Kritik terhadap neorealist tidak berhenti pada sistem anarki saja. Mengenai distribution of power juga dianggap kurang tepat. Distribution of power bagi neorealist dipercaya aan berpengaruh pada tindakan rasionalitas tiap negara, namun bagi konstruktivis, rasionalitas tidak akan muncul jika tidak ada distribution of knowledge. Distribusi pengetuhan inilah yang nantinya akan membentuk konsepsi mengenai siapa teman dan siapa lawan dari negara tersebut yang muncul karena adanya collective meanings . Sebagai contoh mengapa AS menganggap kepemilikan nuklir Iran berbahaya oleh AS bagi keamanan dunia dan dirinya namun kepemilikan nuklir Inggris tidak membahayakan negara manapun? Ini karena adanya perbedaan persepsi yang kemudian menjadi perbedaan sikap. Inggris dan AS memiliki tujuan dan maksud bersama (collective meanings), berebda dengan Iran yang tidak memiliki kebersamaan dengan AS. Jika saja tidak ada unsur kolektivitas ini, maka bisa saja Inggris juga dianggap musuh AS. Contoh lain yang paling mudah adalah apabila manusia di dunia ini telah lupa terhadap abjad maka sederhana saja, tidak akan ada lagi yang memakai abjad dan abjad akan menghilang. Seperti halnya perang dingin yang usai karena Uni Soviet tidak lagi memandang AS sebagai musuhnya.
Sebagai kesimpulan penulis dan sedikit analisa mengenai teori konstruktivisme ini ialah memang secara mendasar cukup kompleks untuk berpikir pada alur konstruktivis bagi yang baru pertama mengenalnya karena teori ini selalu berdiri ditengah teori besar yang ada seperti rasionalisme dan refleksionisme serta positivisme dengan pospositivisme dengan melakukan konstruksi ulang fakta yang telah ada dengan asumsi bahwa fakta bukanlah hal yang alamiah ada namun karena adanya bentuk interaksi. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa secara signifikan teori ini memberi pengaruh terhadap perkembangan teori dalam kajian HI. Teori yang sering disebut sebagai media a vis ini merupakan jalan tengah untuk mempertemukan teori rasionalis dan reflektivis yang seakan memberi angin segar bagi dinamika realitas hubungan internasional. Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis baru yang mampu member jalan tengah ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara. Sebagai contoh misalnya, realis tidak dapat memberikan penjelasan memuaskan mengapa Perang Dingin berakhir, dan mengapa sifat AS berbandng terbalik terhadap perkembangan nuklir di Iran dan Inggris dan terkait dengan sikap AS sebagai pembela HAM dan demokrasi namun disisi lain membiarkan Israel untuk terus melakukan serangan brutal ke Palestina dan jalur Gaza yang tidak mampu dijawab melalui teori liberalis.
Referensi:
Adler, Emanuel. 2002. Construtivism and International Relations. London : SAGE Publications Ltd.
Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations : The Key Concepts.New York : Routledge.
Linklater, Andrew. 1996. Theories of International Relations : Rationalism. New York : St. Martin Press.
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar