Semenanjung Korea jika ditilik melalui kacamata sejarah, merupakan satu integrasi yang cukup besar pada masa lalu. Korea berada di bawah kuasa dinasti-dinasti di Cina sejak sebelum masehi. Pada tahun 668M semenanjung Korea berada dibawah kekuasaan kerajaan Shila dan membuatnya menjadi satu kesatuan politik. Namun seiring dengan pekembangannya, Korea berulang kali jatuh ke tangan pihak luar. Pada abad ke 19 misalnya, Korea berada di dalam kekuasaan Jepang dan menjadi satu arena bentrok kepentingan antara Cina dan Jepang di dalam perang Sino-Japanese. Tidak lama setelah perang tersebut berakhir, Korea tetap menjadi satu arena konflik kepentingan. Kali ini di dalam perang Rusia – Jepang atau Russo-Japanese. Keberadaan Jepang membuat Jepang secara resmi menduduki Korea hingga tahun-tahun berikutnya. Hingga akhirnya pada tahun 1919, rakyat Korea secara serempak melakukan pemberontakan atas kependudukan Jepang.
Pada era setelah perang dunia ke dua, disepakati dalam perjanjian Kairo bahwa setelah Jepang kalah perang maka Korea akan menjadi negara yang merdeka. Namun ini merupakan titik awal permasalahan baru di era perang dingin. Pada masa perang dingin, Korea justru terlibat dalam perang saudara antara Utara dan Selatan. Soviet dengan kebijakan ekspansi timur jauhnya menduduki Korea Utara dan AS dengan kebijakan pembendungannya menduduki Korea Selatan. Meski saat ini perang dingin telah berakhir dan kedua negara telah keluar dari Korea, konflik antara Utara dan Selatan tetap berlangsung hingga detik ini. Kedua negara pada dasarnya menginginkan reunifikasi namun dengan cara yang berbeda yang hingga saat ini belum ditemukan jalan tengahnya.
Kedua negara menawarkan formula reunifikasi yang berbeda. Korea Utara misalnya, mengadopsi formula reunifikasinya dari keinginan terwujudnya republik konfederasi Koryo. Formula ini menurut beberapa kaum skeptis hanyalah upaya propaganda dari Korea Utara untuk menghilangkan kebijakan anti-komunisme di Korea Selatan. Meski dalam formula ini dinyatakan adanya keinginan membentuk satu pemerintahan demokrasi Korea, namun pada kenyataannya istilah demokrasi hanya digunakan untuk membuat militer AS keluar dari Korea Selatan dan “melarikan diri” dari perjanjian perdamaian yang pernah disepakati bersama tiga negara (AS. Korea Utara, Korea Selatan). Istilah demokrasi juga digunakan Korea Utara untuk mencegah adanya serangan dari negara demokrasi lainnya karena pada prinsipnya, demokrasi tidak akan menyerang sesama demokrasi. Dari sini terlihat adanya upaya Korea Utara untuk melakukan reunifikasi memiliki kemungkinan penggunaan kekerasan.
Berbeda dengan formula yang ditawarkan Pemerintah Seoul pada 1981 meningkatkan upaya bagi unifikasi dan perdamaian. Dengan pendekatan pejabat dan di bawah pengawasan Palang Merah, sejumlah warga yang terpisah dari sanak keluarganya di satu pihak, menyeberang zona demiliterisasi di perbatasan Korsel-Korut pada 20-23 September 1985 untuk pertama kalinya sejak berakhirnya Perang Korea (1950-1953). Langkah ini diikuti dengan persiapan konferensi parlemen Selatan-Utara di desa perbatasan Panmunjom dan pembicaraan mengenai olahraga Selatan-Utara di Lausanne, Swiss.
Perbedaan kedua formula ini begitu mendasar. Korea Selatan menginginkan unifikasi dengan damai dengan menerapkan demokrasi penuh di dalam semananjung Korea, namun sebaliknya dengan Korea Utara yang menginginkan incomplete unifikasi yang mana dua pemerintahan berada dibawah konfederasi Korea. Korea Selatan juga bertujuan untuk mendirikan satu commonwealth Korea sebagai satu interim stage yang sekaligus menerapkan dan membawa detail-detail dalam unifikasi negara dengan nilai-nilai demokrasi. Termasuk menggunakan sistem council of representatives dan pemilu demokrasi. Berbeda dengan Korea Utara yang mengandalkan upaya-upaya mengkomuniskan Korea Selatan sebagai awal pembentukan satu konfederasi komunis Korea. Bahkan Korea Utara mengirimkan ancaman bagi Korea Selatan apabila formula konfederasi tidak disepakati.
Banyak sekali ketidaksepahaman dan perbedaan dalam memformulasikan upaya unifikasi yang ditawarkan baik oleh Korea Selatan dan Korea Utara. Namun meski demikian upaya ini tidaklah begitu signifikan dalam menentukan hasil. Beberapa dialog dilakukan dan meski seringkali berujung negatif, upaya ini membawa hasil positif sementara. Adanya pakta nonagresi, kerjasama ekonomi, dan rekonsiliasi pernah dicapai oleh kedua negara ini namun pada akhirnya putus karena upaya Korea Utara yang tidak taat terhadap perjanjian yang ditandatangi bersama ini.
Upaya unifikasi atau reunifikasi Korea ini tentu saja mengundang perhatian masyarakat internasional. Meski sebenarnya permasalahan unifikasi adalah permasalahn intra negara dan harus diselesaikan oleh pihak yang terkait, namun pastilah ada pihak lain utamanya pihak major power yang dapat melakukan perannya sebagai supplementary role dengan melakukan dukungan dan sebagai mediator demi terbentuknya unifikasi yang damai melalui dialog dan diplomasi oleh kedua Korea.
Banyak pemimpin dunia mendukung proses unifikasi Korea secara damai, dalam hal ini secara tidak langsung formula unifikasi Korea Selatan mendapat banyak dukungan dari negara lain, terutama AS yang menghendaki komunisme di Korea Utara dapat dihilangkan. Bahkan Cina dan Rusia yang merupakan sekutu ideologis tidak banyak bertindak nyata untuk membela Korea Utara. China hanya saja seringkali menjadi lips service bagi kepentingan Korea Utara yang seringkali dinilai tidak realistis. Oleh karena itu Korea Selatan harus terus menjalankan usahanya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendukung secara positif terhadap kebijakan unifikasi damai.
Hingga saat ini dan ke depan, banyak yang masih skeptis terhadap terwujudnya unifikasi di Korea karena memang terdapat perbedaan yang sangat mendasar yang belum dapat disatukan dan akan terus seperti ini jika tensi kedua negara terus tidak mau kalah. Korea Utara yang dalam hal ini terus bersikap provokatis terhadap Korea Selatan karena tidak menyukai keberadaan militer AS di Korea Selatan yang dirasa menghambat terwujudnya konfederasi Korea. Disisi lain, Korea Selatan yang banyak mendapatkan dukungan internasional mengganggap keberadaan tentara AS bermaksud untuk mewujudkan keadilan dan kestabilan di dua wilayah yang rawan konflik sehingga kecil kemungkinan Korea Selatan melepaskan AS dari teritorinya. Mungkin jalan keluarnya bisa melalui restrukturisasi total pemerintahan salah satu negara Korea yang mana dalam hal ini harus ada reformasi dari lapisan tertinggi hingga lapisan terendah termasuk menggulingkan pemimpin yang ada dan ideologinya atau terus diadakan upaya diplomasi dengan tawaran-tawaran tertentu yang sekiranya akan paling tidak, tidak merugikan kedua belah pihak. Meski dalam kenyataannya hal ini tidak mudah dilakukan, hal ini tetaplah solusi terbaik daripada perang.
Referensi Tjeng, Lie Tek. 1977. Studi Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya. Bandung : Penerbit Alumni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar