Ketahanan Pangan: Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan Pada Krisis Agrikultural di Jepang
Pendahuluan
Makanan sejak dari masa lalu hingga saat ini selalu menjadi hal yang penting untuk dibahas dalam setiap aspek kehidupan baik itu sosial, ekonomi dan politik. Di masa globalisasi seperti saat ini makanan menjadi isu yang sangat penting untuk dikaji. Sejak berakhirnya perang dingin fokus dunia terhadap keamanan perlahan-lahan mulai berubah. Hampir seluruh pemerintah di dunia mulai merubah perlahan-lahan mengenai konsep keamanan dari keamanan yang sifatnya penggunaan kekuatan menjadi keamanan yang lebih mengutamakan aspek kemanusiaan. Konsep keamanan yang meluas ini menghasilkan salah satunya adalah mengenai ketahanan pangan. Hal yang sama juga terjadi di Jepang. Masalah keamanan terutama yang berkaitan dengan ketahanan pangan menjadi isu kontemporer yang cukup sensitif untuk dibahas. Jika dilihat melalui pendekatan sosial dan budaya terhadap orang-orang di Jepang, maka akan diketahui betapa seriusnya mereka untuk mempertimbangkan apa yang mereka makan. Orang-orang Jepang sangat peduli dengan makanan mereka maka tidak heran apabila kita melihat tayangan-tayangan tentang Jepang di televisi atau membaca majalah tentang budaya Jepang kita akan menemukan bahwa mereka serius untuk mempertimbangkan bahan makanan apa yang akan mereka beli dan bagaimana mereka memasaknya dengan mengutamakan aspek nutrisi di dalam makanan tersebut. Budaya semacam ini juga berpengaruh terhadap perusahaan-perusahaan makanan dan media di Jepang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya informasi mengenai makanan di majalah-majalah bahkan di restoran-restoran di Jepang yang seringkali memberikan informasi mengenai darimana makanan itu berasal dan apa saja komposisinya.
Selain menjadi isu dalam ranah sosial, makanan juga menjadi isu politik dan ekonomi yang intens di Jepang. Ini dapat dikaji melalui bagaimana pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan-kebijakan agrikultural yang cukup kompleks dan terkadang kontroversial. Seperti contohnya kebijakan dimana Jepang mulai membuka diri untuk menerima bahan makanan import pada awal 1990an karena kebijakan sebelumnya yang dinilai sedikit proteksionis karena berusaha melindungi petani lokal dinilai tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan WTO. Setelah kebijakan ini diimplementasikan, Jepang memang memiliki banyak cadangan makanan namun hal ini justru mematikan para petani lokal dan hal ini terus berlanjut hingga tahun 2009 saat para petani mulai diberi subsidi atas kebijakan “open market” yang dilakukan Jepang tersebut. Tidak heran, permasalahan mengenai makanan akan terus menjadi topik yang penting di Jepang termasuk bagi siapa saja yang ingin mengkaji kehidupan sosial dan politik di Jepang, makanan sudah menjadi hal yang penting sejak dulu.
Namun tujuan utama dari esai ini bukanlah untuk mengkaji kebijakan pemerintah Jepang mengenai ketahanan pangan di Jepang namun lebih kepada aspek sosial budaya untuk mengkaji perubahan pola konsumsi dan produksi makanan di Jepang terkait dengan kepedulian para warga Jepang mengenai krisis ketahanan pangan yang terjadi di negaranya terutama berkaitan dengan krisis agrikultural yang terjadi di Jepang pada zaman modern. Oleh karena itu penulis akan mencoba untuk memulai tulisan ini dari penjelasan singkat mengenai krisis agrikultural di Jepang dan dilanjutkan dengan penjelasan mengenai perubahan pola konsumsi dan produksi makanan di Jepang.
Krisis Agrikultural di Jepang
Seperti yang telah diketahui secara umum, Jepang merupakan salah satu negara di Asia Timur yang memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang cukup tinggi. Menurut data dari CIA Worldfact Book, tingkat harapan hidup di Jepang baik itu untuk pria maupun wanita rata-rata hingga 70 tahun. Sedangkan tingkat pendapatan per kapita mencapai $32.600 pada tahun 2009. Namun dibalik itu semua Jepang sudah sejak lama mengalami krisis agrikultural. Krisis pangan dan agrikultural di Jepang sudah muncul pada abad ke-12 dimana pada masa itu Jepang mengalami krisis pangan yang cukup besar akibat adanya kontrol terhadap ladang pertanian terhadap pemerintahan Shogun Fujiwara sebagai salah satu kunci utama penghasilan keluarga dan sebagai dasar yang fundamental terhadap kekuatannya sehingga pada masa ini penduduk Jepang memiliki opsi lain untuk melakukan perburuan ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan pangannya (Morris,1964; hlm 73). Di zaman modern saat ini, krisis pangan dan agrikultur di Jepang masih tetap ada namun lebih dipengaruhi pada perubahan sistem perekonomian dan makanan global sejak era perang dingin. Dibawah konteks yang dihasilkan oleh WTO mengenai ekspansi global perdagangan makanan yang diregulasi oleh perusahaan transnasional, dalam hal ini menjadi kritik tersendiri bagi Jepang yang pada awalnya menerapkan kebijakan proteksionis terhadap petani serta makanan dalam negerinya terutama dalam hal impor beras (Alston, Carter dan Jarvis, 1990; Anderson dan Tyers, 1987). Hal ini memang mengindikasikan bahwa globalisasi dan liberalisasi perdagangan tidak lagi dapat terelakkan bagi pemerintah dan masyarakat Jepang. Oleh karena itu perlu bagi Jepang untuk segera melakukan deregulasi terhadap aspek agrikulturnya terutama dalam hal produksi dan distribusi makanan agar upaya liberalisasi perdagangan bahan pangan tidak berujung pada matinya sektor agrikultural lokal di Jepang. Sektor agrikultur di Jepang hanya bisa diselamatkan melalui deregulasi dari pemerintah dan intesifikasi teknologi (Honma, 1994) dan pada 2009 lalu kebijakan baru telah disepakati untuk memberikan intensif lebih secara langsung pada para petani lokal (Yoshikawa,2010).
Dibukanya liberalisasi perdagangan terutama dalam sektor pangan membuat Jepang lebih terbuka terhadap investor-investor baru. Peraturan proteksionis yang melemah merupakan kesempatan emas bagi perusahaan-perusahaan makanan global untuk membuka cabang di Jepang dan memberikan warna baru dan pengaruh terhadap makanan-makanan yang ada di Jepang. Namun justru disinilah permasalahannya, agrikultural Jepang semakin melemah dan Jepang banyak mengandalkan pada sektor-sektor swasta untuk melakukan regulasi pada sektor pangan (Jussaume, Shuji, Yoshimitsu,nd hlm 4). Hal ini mengancam perekonomian lokal penduduk Jepang serta merubah pola konsumsi yang tidak sehat di Jepang. Mengapa demikian? Karena setiap perusahaan pasti akan berkaca pada profit daripada keamanan bahan pangan, nutrisi, tingkat pengangguran, degradasi lingkungan, dsb sehingga aspek-aspek nutrisi dan hal yang berhubungan dengan kemiskinan tidak terlalu diperhatikan padahal secara budaya, Jepang merupakan negara yang sangat serius memperhatikan tingkat kesegaran dan nutrisi pada bahan makanannya.
Maka dari sini jelas adanya bahwa persoalan utama krisis agrikultural sejak masa perang dingin di Jepang bukan karena tidak cukupnya kuantitas pangan yang ada namun lebih kepada kurangnya self-sufficiency terhadap bahan pangan karena terlalu mengandalkan import dan dari sektor swasta. Akibat dari mengandalkan sektor impor dan swasta inilah jumlah lahan pertanian semakin lama semakin menyempit. Hal ini dipengaruhi oleh mahalnya biaya yang harus dikeluarkan belum lagi tingkat persaingan dengan bahan pangan impor yang sangat tinggi dan lonjakan populasi penduduk di Jepang dan membuat sektor pertanian hanya menyumbang sekitar 0,8% GDP tahun 2007 (Yoshikawa,2010).
Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat Jepang
Krisis agrikultural dan pangan yang terjadi di Jepang dari masa ke masa telah membuat satu perubahan mendasar terhadap pola konsumsi masyarakat Jepang. Untuk memahami dinamika perubahan ini maka penulis merasa perlunya kajian historis mengenai hal ini. Untuk itu penjelasan akan dimulai dari tradisi historis Jepang mengenai pola konsumsi pangan serta produksinya. Masyarakat Jepang, seperti masyarakat Asia pada umumnya mengganggap nasi sebagai bahan pokok makanan utama mereka serta didampingi oleh makanan lain seperti kedelai, ikan dan sayur-sayuran. Anggapan ini sudah berkembang berabad-abad lamanya dan sangat dipengaruhi oleh kondisi budaya dan letak geografis Jepang di bola dunia. Masyarakat Jepang juga sangat serius untuk menjaga kualitas makanannya karena mereka percaya bahwa dari beberapa bahan makanan alami mengandung obat yang baik bagi kesehatan individu. Tentu hal ini merupakan tipikal diet yang ideal untuk itulah masyarakat Jepang sangat berkeinginan untuk terus mempertahankan ketersediaan dan kualitas bahan pangannya hingga pada awal abad ke 19 beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan ketahanan pangan diimplementasikan seperti Rice Law pada 1921 yang mana muncul akibat adanya kerusuhan beras pada tahun 1918 sehingga pemerintah membuat suatu pondasi kebijakan mengenai suplai beras yang juga sekaligus menjadi driving forces untuk melakukan ekspansi demi mencari sumber pangan baru. Istilah food security mulai menarik perhatian tinggi pada sejarah modern Jepang. Pada tahun 1950an awal merupakan masa-masa sulit Jepang terutama berkenaan dengan sistem ketahanan pangan di Jepang akibat dari kalah perang sehingga pemerintah Jepang banyak mengeluarkan kebijakan untuk melakukan stimulus terhadap produksi dan distribusi pangan terutama beras baik itu melalui subsidi bagi para petani atau subsidi harga bahan pokok bagi para konsumen (Jussaume, Shuji, Yoshimitsu,nd hlm 6). Namun kondisi begitu cepat berbalik. Pada 1960an dimana perekonomian Jepang mulai membaik, para konsumen masyarakat Jepang tidak lagi perlu khawatir mengenai ketersediaan pangan karena Jepang sudah mulai bangkit dan banyak melakukan kerjasama dengan negara lain terutama AS dan negara-negara barat dalam hal penyediaan bahan pangan. Disinilah perubahan pola konsumsi mulai terlihat. Pasokan bahan pangan yang berasal dari luar negeri pada dasarnya bukanlah bahan pangan pokok masyarakat Jepang seperti daging, produk-produk susu dan olahan susu, buah-buahan dan makanan-makanan kaleng yang sudah diproses. Hal ini membuat masyarakat Jepang mengkonsumsi makanan tersebut karena disisi lain bahan makanan pokok seperti beras dan sayur-sayuran masih belum cukup diproduksi di dalam negeri serta harganya yang lebih mahal selain itu harga produk-produk seperti daging, susu dan sayur-sayuran dirasa lebih murah daripada ikan dan beras. Perubahan ini dikenal sebagai “Japannese Westernization Diet” yaitu adanya penurunan konsumsi bahan makanan pokok seperti beras dan ikan seiring dengan meningkatnya konsumsi daging, produk olahan susu dan gandum (Ishibashi, 1997).
Perubahan pola konsumsi ini membuat anggapan masyarakat Jepang terhadap konsep food security juga berubah. Masyarakat dan pemerintah Jepang tidak lagi repot dengan permasalahan ketersediaan bahan pangan namun lebih kepada keamanan bahan pangan itu sendiri. Selain karena suplai makanan mulai terpenuhi, adanya kasus bahan kimia beracun dalam makanan seperti susu dan daging yang pada waktu itu lebih banyak dikonsumsi masyarakat Jepang juga berpengaruh terhadap perubahan ini. Salah satu kasus yang cukup mengejutkan penulis ambil dari media massa Jepang “Japan Today” terjadi pada tahun 1955 saat terjadi 13.000 orang keracunan dan 130 orang diantaranya tewas akibat adanya kandungan aditif arsenik dalam susu Morinaga yang merupakan salah satu produsen susu terbesar di Jepang pada waktu itu. Ironisnya pada kasus ini, susu Morinaga adalah produk susu bayi dan balita sehingga mayoritas kasus keracunan terjadi pada bayi dan balita. Oleh sebab itu pemerintah Jepang membuat satu kebijakan baru yaitu kebijakan Food Safety Law yang mengatur tentang produksi terhadap makanan tanpa bahan kimia.
Faktor lain yang mempengaruhi perubahan terhadap perilaku masyarakat Jepang menyikapi ketahanan pangan adalah faktor lingkungan. Mereka percaya degradasi lingkungan akan mempengaruhi produksi dan kualitas pangan. Selain itu hal ini menjadi perhatian karena sejak bertumbuhnya perekonomian Jepang, banyak berdiri perusahaan dan pabrik-pabrik besar yang tentunya membuang polusi limbahnya ke udara maupun ke air laut. Akibatnya terjadi pencemaran di udara dan di laut yang berujung pada terkontaminasinya hasil hasil panen sayuran, buah-buahan dan ikan. Hal ini tentu juga berpengaruh pada kondisi ekonomi negara terutama dirasakan oleh para petani dan nelayan. Akibat terkontaminasinya hasil panen mereka maka pendapatan mereka pun menurun drastis. Selain itu hal ini juga berefek pada rakyat miskin di Jepang yang notabene masih menggunakan beras dan ikan sebagai makanan pokok mereka. Ikan dan hasil panen sayuran serta beras yang mereka makan dan panen sendiri mengandung polusi yang akan membahayakan kesehatan mereka.
Masyarakat Jepang juga mulai sadar bahwa ketergantungan terhadap bahan pangan import justru akan berdampak buruk pada ketahanan pangan di negaranya. Ketergantungan terhadap import akan berdampak terhadap keamanan dan ketersediaan pangan di negaranya. Ketergantungan ini justru akan mematikan bagi tingkat produksi agrikultural di masa depan. Petani lokal dan para nelayan akan bersaing dengan bahan pangan lain yang diimport oleh negara yang mana secara kualitas mungkin lebih baik dan harganya lebih murah. Hal ini membuat biaya produksi bahan pangan lokal meningkat dan para petani merugi karena kalah bersaing. Selain itu dengan adanya ketergantungan terhadap import, terutama pada bahan pangan pokok akan berdampak buruk pada ketersediaan pangan dalam negeri. Hal ini mulai diperhatikan terutama sejak adanya embargo kedelai yang dilakukan AS pada 1973 dimana saat itu AS melarang ekspor kedelai ke Jepang untuk melindungi suplai domestik. Ini tentu berakibat buruk bagi ketersediaan kedelai di Jepang. Disatu sisi sejak tahun 1960an Jepang sangat bergantung pada import mengenai ketersediaan kedelai dalam negerinya dan disisi lain AS sebagai negara utama pengekspor kedelai bagi Jepang menghentikan kegiatan ekspornya sehingga membuat ketersediaan dan kualitas kedelai dalam negeri menjadi sangat kurang.
Sejak saat itu para konsumen di Jepang lebih sensitif dalam memperhatikan keamanan makanan import bukan hanya kualitas makanan yang diekpor karena Jepang tidak ingin merasa terkecoh lagi dengan adanya kadar bahan kimia beracun dalam makanan namun juga pada ketersediaan pangan di masa depan akibat dari terlalu bergantungnya pemerintah Jepang terhadap import terutama pada sektor beras dan kedelai ditambah lagi adanya tekanan dari arus globalisasi yang membuat mau tidak mau Jepang harus melakukan perdagangan bebas sesuai standart dari WTO yang mana ini pada kenyataannya justru mematikan sektor agrikultural lokal. Maka tidak heran akibat dari adanya perhatian semacam ini dari masyarakat Jepang maka kesempatan untuk kembali mempertahankan konsumsi makanan-makanan lokal serta produksi makanan-makanan tradisional kembali muncul dan hal ini juga dapat dijadikan satu indikasi bahwa konsep ketahanan pangan atau food security yang dipahami masyarakat Jepang berubah dari hal-hal yang lebih mempertimbangkan suplai makanan menjadi hal-hal yang lebih luas yaitu mengenai keamanan pangan yang tidak hanya menyangkut suplai tetapi juga kualitas dari bahan pangan.
Kesimpulan
Penulis percaya bahwa sedikit esay diatas dapat mengatarkan pemahaman para pembaca mengenai perubahan pola konsumsi dan pemahaman terhadap konsep ketahanan pangan atau food security di Jepang terkait dengan kepedulian yang tinggi dari masyarakat Jepang dalam menyikapi krisis pangan dan agrikultur yang terjadi di negaranya pada zaman modern ini. Dari uraian esay tersebut maka penulis percaya bahwa tingkat kepedulian Jepang terhadap krisis pangan yang terjadi di negaranya dari masa ke masa bisa dikatakan cukup tinggi. Krisis pangan dan agrikultural yang terjadi hingga saat ini telah membuat banyak perubahan terhadap sikap masyarakat Jepang dalam melakukan pola konsumsi dan produksi terhadap makanan yang mereka makan. Terjadinya perubahan diet masyarakat Jepang yang pada awalnya melakukan pola konsumsi nasi, ikan dan sayur-sayuran berubah seiring dengan perkembangan kondisi politik sosial dan ekonomi di Jepang dan global menjadi pola konsumsi yang sifatnya lebih “kebarat-baratan” dengan mulai banyak mengkonsumsi produk-produk olahan daging dan susu serta makanan-makanan kemasan. Selain pola konsumsi, terjadi juga perubahan di pola produksi. Sejak westernisasi pola diet semakin ramai diimplementasikan di Jepang, perubahan pada pola produksi pangan di Jepang otomatis berubah mengikuti gaya konsumsi. Ditambah lagi dengan masuknya beberapa perusahaan pangan asing yang membawa variasi menu-menu baru bagi masyarakat Jepang. Sebut saja McDonald yang masuk ke Jepang membawa menu-menu seperti hamburger dan kentang goreng yang sebelumnya masih asing di lidah orang Jepang. Selain itu masuknya bahan pangan impor juga mempengaruhi pola produksi di Jepang terutama di sektor pertanian. Pola produksi pertanian yang sejak lama mengandalkan beras dan kedelai sedikit demi sedikit mulai melemah karena beras dan kedelai sudah banyak diimpor pemerintah dari luar negeri.
Perubahan pola konsumsi dan produksi ini berimbas pada adanya rekonstruksi konsep ketahanan pangan pada masyarakat Jepang. Sejak zaman sejarah ke-shogun-an di Jepang hingga pada tahun 1960an masyarakat Jepang percaya bahwa konsep ketahanan pangan adalah mempertahankan ketersediaan bahan pangan itu sendiri namun seiring berkembangnya kondisi global, terutama setelah masuknya pengaruh barat ke dalam pola konsumsi di Jepang hingga membentuk satu paradigma diet baru yaitu Japannese Westerization Diet pemahaman terhadap konsep ketahanan pangan telah terekonstruksi oleh masyarakat Jepang. Kini masyarakat Jepang memahami konsep ketahanan pangan dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya konsep ketahanan pangan yang melibatkan suplai dan ketersediaan pangan yang mana masyarakat Jepang beranggapan bahwa pentingnya upaya pemerintah untuk meningkatkan dan memaksimalisasikan produksi pangan dalam negeri supaya suplai dan ketersediaan pangan tetap terjaga tetapi juga ketahanan pangan yang melibatkan unsur-unsur keamanan bahan pangan itu sendiri. Apakah makanan itu aman untuk dimakan atau tidak terkait dengan kebutuhan bahwa bahan-bahan pangan tidak terkontaminasi secara biologis maupun kimia.
Sebagai penutup, penulis percaya bahwa rekonstruksi konsep ketahanan pangan ini bukan semata-mata karena adanya pengaruh budaya luar untuk lebih memandang penting keamanan dan ketersediaan pangan namun lebih kepada pengaruh historis dan budaya serta kondisi sosial yang juga memainkan peran penting dalam perubahan pemahaman konsep ini sehingga penulis percaya bentuk perhatian terhadap ketahanan pangan di Jepang merupakan hal yang berkelanjutan yang dipengaruhi oleh aspek historis yang dalam dan tidak akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Namun masa depan memang tidak dapat diprediksi tetapi tetap saja apapun yang akan terjadi pada pola konsumsi di Jepang akan jelas merefleksikan secara historis, tradisi dan tren perhatian dan kepedulian para konsumen di Jepang terhadap makanan yang sehat dan aman (Jussaume, Shuji, Yoshimitsu,nd hlm 15)
Referensi
Alston, Julian M., Colin A. Carter and Lovel S. Jarvis. 1990.Discriminatory Trade: The Case of Japanese Beef and Wheat Imports. In: Canadian Journal of Agricultural Economics 38
Anderson, Kym and Rod Tyers (1987): Japan’s Agricultural Policy in International Perspective. dalam Journal of the Japanese and International Economies 1,2.
Honma, Masayoshi. 1994. Political Economy of Agricultural Production. Tôkyô: Nihon Keizai Shinbunsha.
Ishibashi, Kimiko. 1997. Changes in Japanese Dietary Patterns by Age: Is the ‘Japanese Style’ Disappearing? dalam Agricultural Research Center’s Management Studies
Jussaume, Raymond A, Hisano Shuji, T. Yoshimitsu.nd. Food Safety in Modern Japan. (artikel online) diakses dari http://www.dijtokyo.org/doc/dij-jb_12-jussaume.pdf
Morris, I., The World of the Shining Prince; Court Life in Ancient Japan (Oxford: Oxford University Press, 1964)
Watanabe, Shaw. 2009. Changes in Dietary Habits in Japan : Background of Shokoiku and Its Promotion.(artikel online) diakses dari http://www8.cao.go.jp/syokuiku/data/eng_pamph/pdf/pamph3.pdf
Yoshikawa,Yukie.2010. Can Japanese Agriculture Overcome Dependence and Decline. The Asia Pacific Journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar