Konstelasi geopolitik dunia pada abad 21 menempatkan faktor energi menjadi salah satu kepentingan nasional, tidak jauh berbeda seperti pada abad 20. Semua negara maju yang masuk dalam kelompok OECD, G8, G7 APEC atau forum multilateral lainnya menempatkan energy security sebagai agenda utama kepentingan nasional. Maka tidaklah mengherankan seandainya Deep Stoat (2003) dalam suatu kajian strategisnya mengatakan "if you would understand geopolitics today, follow the Oil" dan pernyataan ini sekaligus mengkonfirmasikan bahwa teori atau pemahaman geopolitik masih berlaku sepanjang masa, dan sangat erat relevansinya dalam era globalisasi guna memberikan arah yang terukur untuk kepentingan nasional suatu bangsa.
Teori geopolitik kontemporer memiliki minyak sebagai faktor utamanya. Jika geopolitik dihubungkan dengan minyak sebagai salah satu faktor maka konteks teori geopolitik yang digunakan tidak lagi terfokus pada negara, utamanya negara-negara di barat melainkan bersifat strategis dan politis, merupakan usaha negara marjinal untuk menentang dominasi negara maju, serta terkait dengan ekstraksi sumber daya alam,(Flint, 2007: 16). Sesuai dengan pernyataan dari Flint dan Stoat diatas, Dalam beberapa tahun terakhir ini permasalahan mengenai atau yang memiliki hubungan dengan energi dan keamanan telah menjadi fokus-fokus baru dalam kancah perpolitikan global baik itu di ranah keamanan internasional ataupun geo-ekonomi. Beberapa isu seperti peran-peran negara dalam memberi kontrol atas sumber-sumber energi, konsekuensi-konsekuensi yang terjadi dalam kompetisi antar negara dalam kontrol sumber energi dan mengenai isu-isu keamanan seperti terorisme menjadi bahan perdebatan antar negara di abad ke-21 ini.
Dalam hal geo-ekonomi dan energi, menurut catatan cadangan minyak Amerika Serikat akan merupakan yang terbesar di abad ke-21 ini karena saat ini semua minyak di negeri Paman Sam ini dihemat secara besar-besaran. AS mengimpor minyak dari Timur Tengah sehingga penguasaan kawasan ini sampai sekarang menjadi salah satu ujung tombak politik luar negeri. Jadi sehubungan dengan perubahan geopolitik dunia saat ini dan masa mendatang ditentukan oleh penguasaan terhadap pangan, energi, dan air bersih. Sumber konflik pada masa mendatang bukan lagi soal agama, wilayah, dan keamanan seperti apa yang diwacanakan dalam teori-teori geopolitik klasik melainkan telah mengalami pergeseran penguasaan sumber energi dan bahkan tidak menutup kemungkinan cangkupannya lebih meluas lagi kearah pasokan pangan. Sehingga untuk enghadapi tantangan global masa kini dan masa datang seperti yang dikatakan Presiden SBY, diperlukan kesadaran baru dan tanggung jawab bersama dari semua bangsa di dunia, dari seluruh umat manusia, termasuk kesediaan untuk membangun gaya hidup yang pro-keselamatan bumi.
Selain mengenai energi, sesuai yang di wacanakan oleh SBY pada KTT ASEAN tanggal 4 April yang lalu, kalau kita memahami geopolitik abad 21 ini, maka dunia akan tampak kembali pada sifat multipolar dalam hal hubungan internasionalnya dengan sejumlah isu-isu global, termasuk perubahan iklim. Geopolitik global telah berubah menjadi multipolar dengan berbagai pusat pengaruh dan kekuatan. Berbagai tantangan dan ancaman saat ini bersifat multi-dimensional tanpa mengenal lagi batas negara dan waktu. Ancaman mutakhir kepada dunia saat ini bersifat non tradisional, tetapi memiliki potensi dampak yang luar biasa. Perubahan iklim, krisis pangan, energi, air dan keuangan bisa disebutkan diantaranya, serta bahaya pandemik global yang dapat menjadi mesin pembunuh manusia dalam skala global.
Fakta revolusi teknologi dan informasi yang terjadi, juga telah mengubah dunia menjadi small village. Kondisi global tersebut, mendorong semua dari negara untuk mampu beradaptasi secara cepat, tepat, cerdas dan terukur. Negara dituntut lebih cepat untuk membaca apa yang menjadi kepentingan Indonesia dan menciptakan peluang baru. Tiap negara juga dituntut pula untuk dapat memanfaatkan aset dan potensi yang dimiliki, sehingga harapan mesin diplomasi dapat menjadi alat untuk mencapai kepentingan nasional, dapat terwujud. Untuk dapat menerjemahkan aset diplomasi menjadi tangible currency demi kepentingan rakyat, pada seluruh tingkatan, baik bilateral, regional maupun multilateral, tiap negara dituntut untuk dapat mengidentifikasi secara cermat apa yang menjadi kepentingan nasional dan bagaimana mewujudkannya.
Perubahan iklim adalah salah satu masalah ekonomi dan geopolitik Abad Ke-21. Naiknya India dan Cina dalam perkembangan tingkat industri membuat pemanasan global semakin parah. Semakin banyaknya industri yang muncul di negara-negara ini membuat kadar emisi gas karbon meningkat.
Jadi dapat disintesiskan bahwa kajian geopolitik kontemporer tepatnya geopolitik di abad ke-21 ini sudah bergeser fokusnya. Bukan lagi merupakan rumusan untuk menguasai dunia dengan negara kuat sebagai aktor kunci namun lebih kepada bagaimana strategi bagaimana negara-negara yang sedang berkembang saling bersaing untuk memperebutkan sumber alam demi “menyaingi” eksistensi negara-negara besar. Di lain sisi, problematikanya juga telah meluas karena banyaknya isu-isu global yang muncul seperti isu krisis ekonomi, perubahan iklim, hingga terorisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar