Greetings

LET'S GET CRAZY WITH THIS BLOG



Kamis, 22 April 2010

WAR ON TERROR : Deterrence or Compellence

Is the War on Terror Deterrence or Compellence?
The War on Terror has some characteristics that resemble deterrence. One of them is the adversary’s desire to engage in an undesirable (to those who wish to deter) action. However, since both sides present a very different picture of reality, of their own intrinsic goodness and the other’s intrinsic badness, it is almost impossible to determine with certainty whether the adversary does in fact intend to do what copious propaganda efforts attempt to convince people that they do; making it epistemically safer to judge whether one side perceives the other as being about to engage in the feared action, rather than whether they are ‘objectively’ about to engage in that action. An important adversary in this case is al Qaeda, and the U.S has shown its belief in al Qaeda’s intent to execute the undesirable actions (terrorism), and has done much to emphasize this intent:
“… we’re engaged in a global war against an enemy that threatens all civilized nations.” “Our enemies have openly declared that they are seeking weapons of mass destruction, and evidence indicates that they are doing so with determination.”

“Through this strategy, al Qaeda and its allies intend to create numerous, decentralized operating bases across the world, from which they can plan new attacks, and advance their vision of a unified, totalitarian Islamic state that can confront and eventually destroy the free world.” “The Iranian regime and its terrorist proxies have demonstrated their willingness to kill Americans…” (emphases mine)

Other similarities to deterrence that are displayed by the War on Terror are the demonstration of American military ability and willingness to use that ability, which serve many purposes including establishing credibility; and statements of the intent to ‘punish’ terrorist attacks, which have been made explicitly and implicitly. The wars in Iraq and Afghanistan may be regarded as implicit reminders of the ‘punishment’ awaiting those who threaten American power, as well as demonstrations of American military prowess, though they have had their limitations in serving those purposes. Explicit statements of American willingness and physical capability have been made in public addresses, for example:
“… we will not rest, we will not retreat, and we will not withdraw from the fight, until this threat to civilization has been removed.”

Explicit acknowledgment is made of deterrence as a strategy in the War on Terror, but it is merely one of many strategies included in the war, not a description of the war itself: “A new deterrence calculus combines the need to deter terrorists and supporters from contemplating a WMD attack and, failing that, to dissuade them from actually conducting an attack.”

Has it Succeeded?
Whether the War on Terror has worked for its stated purposes – American defense and making the world freer and more peaceful – would depend upon whether the U.S is safer now than it was prior to its launching, and whether any part of the world is freer or safer as a consequence. According to their own National Intelligence Estimate America is not safer . By tying up their resources in Iraq and Afghanistan, they reduce their own credibility. The War on Terror may be regarded as something of a failure in those regards. Iraq, Afghanistan, Pakistan and other places directly effected by the War on Terror have also not been ‘liberated’. The undemocratic Musharraf regime has been supported; Iraq has become more violent, captured Iraqis have been tortured and terrorism has become more rampant there. Relations with Iran are deteriorating, and many in the world fear the U.S more than terrorism. In those regards too the War in Iraq seems to have been a failure.

The War on Terror as Defensive:
The War on Terror is a preventive defensive strategy. This involves deterrence/compellence but is not limited to it, as many of the strategies it encompasses fall outside the rubric of deterrence/compellence. For example, trying to prevent funds reaching terrorists, ‘democratizing’ as much of the world as possible and using economic rewards are parts of the War on Terror, but are neither compellence nor deterrence. The strategy for ‘combating terrorism’ is divided into five components: advancing democracy, preventing terrorist attacks, denying sanctuary to terrorists, denying terrorists control over nations and building institutions to help combat terrorism . The second is ostensibly preventive defense, the third may be interpreted to be so as may the fourth. The first and the fifth do not involve merely the use of force, and do not fall into the categories of defense, compellence, deterrence or swaggering. It is plausible that the war is aggression mixed with defense, with the pretext of being entirely defensive. This would be supported by the observation that one and possibly another war has been initiated by the U.S without provocation, and statements have been made casually that show a willingness to disregard the sovereignty of other states, national integrity and human rights .

Conclusion:

The War on Terror overall does not appear to be compellence or deterrence, but defense mixed with aggression; while some of the moves within it – namely the war in Iraq and America’s increasing hostility toward Iran – are deterrent. The war in Iraq is a case of failed deterrence, though the motives and outcomes in the situation are complex. American actions in the War on Terror are acting as demonstrations of power in some respects, as well as weakening in others (loss of soldiers, vehicles, fuel, money etc.). They might be instilling fear in some actors in the world, but are also arousing hatred and anger among others, many of whom are not easily intimidated.

Source

Baylis, John dan Smith, Steve. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press.


Karen, A. Mingst. 2009. The Essentials of International Relations. London. Norton, inc.


Sabtu, 17 April 2010

let's learn IPE!!!

APA ITU EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL?


Sebelum menapaki arti dari apa itu EPI, ada baiknya apabila kita memahami bagaimana EPI itu ada sehingga dapat kita pahami “nature” dari EPI pada kajian hubungan internasional dengan lebih baik.

Di dalam kajian ilmu hubungan internasional, sebenarnya subjek mengenai ekonomi politik internasional merupakan subjek yang bisa dikatakan baru. Meski masih tergolong baru, sebenarnya tidak berarti belum ada teori-teori dan konsep dari kajian ini. Mengapa demikian? Beberapa sebab diantaranya adalah adanya tuntutan perkembangan situasi. Perkembangan situasi global membuat peristiwa-peristiwa internasional yang dinamis tampak jauh berlari mendahului proses pembuatan teorinya. Hal ini sejatinya menyebabkan studi hubungan internasional dipacu untuk terus menghasilkan sesuatu yang bersifat keilmuan yang cukup relevan dengan apa yang terjadi atau kondisi pada suatu zaman sehingga hasil keilmuwan tersebut dapat menjadi relevan jika diterapkan dibidang ekonomi politik internasional. Selain itu pada dasarnya EPI juga dapat dianalisa melalui teori-teori besar dalam hal politik seperti teori Liberal, teori Kapitalisme atau bahkan teori Nasionalisme dan Sosialisme. Sehingga tidak ada alasan bahwa EPI belum memiliki banyak teori untuk mengkajinya lebih jauh.

Apabila kita membicarakan tentang EPI maka pada dasarnya terdapat 3 terminologi kata yang berbeda yaitu Ekonomi, Politik dan Internasional. Ketergantungan antara Ekonomi dan Politik telah menjadi salah satu hal yang menarik untuk dipelajari. Keberadaan paralel dan interaksi yang terjadi pada EPI tidak dapat dilepas dari dua istilah mendasar yang menyatukan keduanya yaitu “negara” dan “pasar” (Nyoman.S, dalam “The Nature of Political Economy”: hlm,8). Lalu apa sebenarnya EPI itu? Secara ringkas EPI dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang berusaha untuk “meruntuhkan” pembatas antara politik,ekonomi dan juga sosiologi (Baalam dan Veseth,2008:hlm,3). Definisi yang juga hampir sama dikemukakan oleh DR.Mohtar Mas’oed dalam bukunya Ekonomi Politik Internasional tahun 1989/1990, yang mana didefinisikan sebagai studi tentang saling hubungan antara ekonomi dan politik dalam arena internasional,yaitu bagaimana soal-soal ekonomi seperti inflasi,defisit neraca perdagangan atau pembayaran,penanaman modal asing, efisiensi produksi,dsb.berkaitan dengan urusan politik internasional dan politik domestik. Dengan kata lain, fokus utama pada kajian EPI adalah interaksi antara pasar dan kebijakan negara secara dinamis bukan hanya dalam lingkup domestik tetapi juga dalam lingkup internasional sehingga bahwa studi ekonomi politik internasional adalah studi tentang hubungan antara politik domestik di berbagai negara dengan ekonomi internasional atau sebaliknya, ini adalah studi tentang dampak kekuatan pasar yang beroperasi dalam ekonomi internasional terhadap politik domestik negara-negara tertentu.

Seperti yang telah saya tulis di atas, bahwa EPI tidak pernah bisa lepas dari 3 unsur utamanya yang menjadi pengikat antar satu sama lain yaitu negara (politik), ekonomi (bisa disebut pasar) dan aspek-aspek sosial yang mencangkup lingkungan. Beberapa unsur ini muncul sebenarnya bukan secara tiba-tiba menjadi satu namun terdapat proses diskusi terlebih dahulu antara ketiganya. Kenyataan bahwa dunia telah dikuasai oleh kebijakan ideologi neo-liberal ekonomi tidak dapat lagi dipungkiri sehingga, atas hal ini lah ketiga unsur ini yang pada mulanya memiliki nilai dasar yang berbeda untuk melakukan “share value”. Pasar, politik dan lingkungan sosial memiliki tujuan yang berbeda seperti keamanan, efisiensi dan preservasi kebudayaan; memiliki makna yang juga berbeda dan juga nilai yang berbeda (keadilan,perdamaian, kesamarataan,dsb). Dengan adanya share value inilah di dalam Ekonomi Politik Internasional saat ini negara (dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang bersifat politis) dapat memainkan peran penting dalam aspek perekonomian dalam negaranya. Bukan hanya negara yang dapat mempengaruhi perekonomian ataupun sebaliknya, kondisi ekonomi juga sangat jelas dapat memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap kebutuhan masyarakat.

Seringkali terjadi istilah dari ekonomi politik internasional dianggap sama dengan ekonomi politik. Bahkan dalam beberapa artikel kedua istilah ini dipakai secara bergantian untuk menjelaskan satu hal yang sama. Padahal apabila kita tahu kata-kata apa saja yang terdapat dalam istilah EPI ini sudah sangat jelas menggambarkan dimana letak perbedaan paling mendasar dengan EkoPol (ekonomi politik). Secara cangkupan, EPI lebih spesifik daripada hanya sekedar ekonomi politik. EPI lebih bersifat internasional sedangkan Ekonomi Politik bisa berarti domestik dan internasional atau bahkan hanya domestik saja. Dengan kata lain interaksi antara politik suatu negara yang dapat mempengaruhi ekonomi secara internasional baik itu bilateral atau multilateral ataupun sebaliknya dapat disebut EPI.

Beberapa sumber juga menyatakan sejumlah ambiguitas akan penyebutan istiah EPI yang dianggap sama dengan Politik Ekonomi atau Ekonomi Politik Global. Penggunaan istilah-istilah ini memang tampak hanya sepintas berbeda namun apabila kita maknai secara filosofis akan tampak perbedaannya yang sebenarnya. Politik Ekonomi pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu unsur atau elemen yang dapat menjadi alat dari ekonomi dan rasionalisasi terhadap kekuatan politik untuk menjalankan rencana-rencana aplikasi ekonomi sesuai dengan apa yang ingin dicapai. Dalam hal ini Politik Ekonomi merupakan Das Sollen dan EPI lebih kepada Das Sains.(Ikbar,Yanuar,2006:hlm,24-25). Politik ekonomi sangat terlihat mengaplikasikan kekuatan-kekuatan politik dalam penerapannya dan menggunakan otoritas pemerintah untuk merubah situasi tertentu dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sedangkan EPI tidak demikian. EPI lebih bersifat keilmuan karena di dalamnya terdapat wilayah kajian yang sangat luas sebagai suatu studi yang mengidentifikasi hubungan timbal balik dan saling berpengaruh antara faktor ekonomi dan faktor politik. Hal ini tentu saja berimpas pada kehidupan sosial masyarakat dan tidak jarang kehidupan sosial pun berinteraksi timbal balik dengan ekonomi dan politik baik itu secara aktif (intervensi) ataupun pasif (negara yang melakukan intervensi sosial dan ekonomi atau terjadi dinamika mekanisme pasar). Sedangkan dibandingkan Ekonomi Politik Global, EPI terkesan lebih sempit cangkupannya karena ketika dua negara saling mempengaruhi secara baik itu politik ataupun ekonomi sudah dapat dikatakan EPI. Barulah dapat dikatakan Ekonomi Politik Global apabila kejadiannya sangat berefek ke dunia luas seperti Krisis Ekonomi Global yang pada hakekatnya hanya dialami AS namun karena AS merupakan pengaruh besar terhadap dunia maka krisis yang Ia (AS) rasakan juga dirasakan oleh banyak negara lain.

PENDAPAT DAN KESIMPULAN

Pada dasarnya isu mengenai interdependensi setiap aspek kehidupan telah mengkarakterisasi sistem tatanan dunia saat ini. Dengan mengacu pada dunia yang saling ketergantungan saya rasa cukup sebagai modal awal untuk menggambarkan bagaimana EPI muncul dan dipelajari sebagai disiplin ilmu yang bersifat jamak karena memiliki aspek politik,ekonomi dan sosial di dalamnya yang terfokus dalam tiga hal utama: entitas sosial,pasar,dan negara. STATE OF ART????

Sebagai contoh kasus Ekonomi Politik Internasional yang berkembang menjadi krisis global dapat kita lihat bagaimana gejolak harga minyak dunia ketika Amerika Serikat mengancam Iran jika tetap berkuat untuk melakukan pengayaan uranium di wilayah Iran. Walaupun Iran telah berkeras dan berjanji bahwa pengayaan uranium yang digalakkan oleh pemerintahnya, murni untuk tujuan damai,Amerika Serikat tetap tidak percaya. Akibatnya Amerika Serikat mengancam akan melakukan tindakan seperti yang dilakukan olehnya terhadap Irak dan Afghanistan.

Akibat ancaman ini harga minyak mentah dunia sempat melonjak naik menjadi 72 dolar AS per barel-nya untuk pertama kali. Hal ini disebabkan adanya ancaman dari Iran akan membatasi aliran minyak dari ladang-ladang minyaknya, jika krisis Teheran semakin memburuk. Tentu saja keadaan ini dijadikan serangan balik oleh Iran agar Amerika Serikat tidak berkeras menyerang negaranya. Karena jika ini terjadi,Industri Amerika Serikat akan terancam,mengingat banyaknya konsumsi minyah mentah oleh indsutri di Amerika Serikat. Selain itu karena Iran juga adalah produsen minyak mentah nomor empat terbesar di dunia, maka serangan terhadap Iran akan berpengaruh juga ke seluruh dunia.







sedikit mengenai Tiongkok-isasi di dunia

Kebudayaan Tiongkok, seperti yang kita tahu, merupakan kebudayaan tertua yang ada di dunia. Bisa dikatakan budaya Tiongkok mulai berkembang sejak sekitar 3000 tahun yang lalu. Peradaban yang luar biasa ini pertama berkembang di sekitar sungai kuning (Huang He). Mengapa demikian? Untuk menganalisa apa saja pengaruh Tiongkok ke Asia Timur, saya rasa sudut pandang historis ialah yang paling mudah untuk menjelaskannya. Pada masa 3000 tahun yang lalu, sungai Huang He merupakan salah satu sungai terbesar yangg ada di dataran Cina selain Yang Tse. Di sekitar sungai inilah peradaban dimulai. Seperti permulaan peradaban yang lain, Di mulai di daerah sekitar sungai karena lokasinya yang subur. Secara geografis, sungai Huang He ini bersumber di daerah pegunungan Kwen-Lun di Tibet. Setelah melalui daerah pengunungan Cina Utara, sungai panjang yang membawa lumpur kuning itu membentuk dataran rendah Cina dan bermuara di Teluk Tsii-Li di Laut Kuning.
Pada daerah yang subur itu masyarakat Cina hidup bercocok tanam seperti menanam gandum, padi, teh, jagung dan kedelai. Pertanian Cina kuno sudah dikenal sejak zaman Neolitikum, yakni sekitar tahun 5000 SM. Kemudian pada masa pemerintahan Dinasti Chin (221-206 SM) terjadi kemajuan yang mencolok dalam sistem pertanian. Pada masa ini pertanian sudah diusahakan secara intensif. Pupuk sudah dikenal untuk menyuburkan tanah. Kemudian penggarapan lahan dilakukan secara teratur agar kesuburan tanah dapat bertahan. Irigasi sudah tertata dengan baik. Pada masa ini lahan gandum sudah diusahakan secara luas. Lalu bagaimana kebudayaan ini bisa berkembang secara luas sangat ditentukan oleh interaksi politik di dalam Tiongkok itu sendiri.
Pada masa-masa ini, terdapat beberapa dinasti yang berkuasa secara silih berganti. Dinasti-dinasti tersebut antara lain Dinasti pertama yang berkuasa di Cina adalah dinasti Hsia.
Berdasarkan cerita rakyat Cina, pada zaman dinasti Hsia telah berkembang sistem kepercayaan memuja para dewa. Dewa tertinggi yang bernama Dewa Shang-Ti. Dinasti ini berakhir sekitar tahun 1766 SM dan digantikan oleh dinasti Yin (1700-1027 SM). Kemudian Dinasti Chou. Pada zaman kekuasaan dinasti Chou ini muncul tokoh-tokoh filsafat yang memiliki peranan penting dalam perkembangan kehidupan rakyat Cina hingga kini, seperti Lao Tse dan Kong Fu Tse. Dinasti ini didirikan oleh raja Cheng yang bergelar Shih Huang Ti. Selain itu ada dinasti Shang yang merupaka dinasti paling bersejarah karena mulai memakai teknik tulisan dan ramalan-ramalan yang bersifat ilmiah dalam aspek kehidupan sosialnya. Dinasti-dinasti inilah yang melakukan ekspansi seperti ke Vietnam,Korea,dsb. Akan tetapi, ada juga yang dengan sukarela mengikuti kebudayaan Tiongkok karena adanya keseganan atas superioritas yang dimiliki Cina pada masa itu yaitu Jepang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Cina memiliki dua cara untuk membuat kawasan lain “tunduk akan budaya” yang dimiliki dengan menggunakan teknik ekspansi dinasti dan menunjukkan superioritas sehingga membuat wilayah lain gentar.
Dinasti Han misalnya, dinasti ini merupakan salah satu dinasti besar yang wilayahnya mencangkup Korea dan bahkan Vietnam. Pengaruh budaya Tiongkok yang diakibatkan oleh ekspansi militer terlihat dalam sejarah Korea. Korea (dahulu disebut Choson) dipercaya sebagai tempat pelarian setelah dinasti Shang dijatuhkan dan saat terjadi perang dinasti pada saat peralihan dinasti Chin dan Han. Disini Han sempat menyerang Choson habis-habisan demi melindungi wilayahnya dari Hsiung-Nu (suku Barbar). Karena adanya ekspansi ini,banyak orang Tiongkok yang datang ke Korea dan secara tak langsung membawa budaya Tiongkok ke dalam lingkungan Korea hingga saat ini.
Berbeda dengan penjajahan yang dilakukan Cina ke Korea, pengaruh budaya Tiongkok masuk ke Jepang dengan sangat mudahnya Jepang mengadopsi sistem tulisan dari China, dan secara historis, Jepang banyak belajar dan mempelajari teknologinya dari China. Ini disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah pengakuan dan penerimaan budaya Tiongkok oleh Jepang secara sukarela dan yang kedua ialah secara tidak disengaja. Secara sukarela artinya ialah secara terbuka Jepang menerima budaya Tiongkok dan bahkan tidak segan untuk menirunya karena bagi Jepang, Tiongkok ialah negara rujukan nomer satu untuk dijadikan contoh bagaimana menjadi kuat dan besar (superioritas). Di sisi lain, budaya Tiongkok di Jepang masuk karena ketidaksengajaan. Ini disebabkan oleh letak geografis Jepang yang cukup dekat dengan Korea yang pada waktu itu terjadi konflik intern sehingga orang-orang Tiong-Hoa Korea mengungsi ke Jepang. Orang-orang inilah yang nembawa nilai-nilai budaya Tiongkok nasuk ke Jepang. Beberapa budaya Jepang lain yang miirip dengan Tiongkok ialah sebutan bagi istilah tempat seperti Chu-koku (Jepang) dan Chung-Kuo (Tiongkok) yang memiliki tulisan kanji yang sama dan arti yang juga sama dan Ai (Jepang dan Tiongkok) yang berarti cinta.
Selain itu, paham-paham ideologi filsafat dari Dinasti Chou juga berkembang pesat di wilayah Asia Timur sebelum masa reformasi negara-negara Asia Timur mungkin hingga saat ini seperti Ajaran Lao Tse tercantum dalam bukunya yang berjudul Tao Te Cing. Lao Tse percaya bahawa ada semangat keadilan dan kesejahteraan yang kekal dan abadi, yaitu bernama Tao. Ajaran Lao Tse bernama Taoisme. Ajaran Kong Fu Tse berdasarkan Tao juga. Menurut ajaran Kong Fu Tse, Tao adalah sesuatu kekuatan yang mengatur segala-galanya dalam alam semesta ini, sehingga tercapai keselarasan atau disebut juga Konfusianisme. Terakhir adalah ajaran Budhism yang menjadi salah satu agama besar di daerah Asia Timur selain Kong hu Chu dan Shinto.
Dari beberapa paham tersebut bisa dikatakan bahwa Konfusianisme merupakan yang memiliki pengaruh paling kuat. Konfusianisme adalah kemanusiaan, suatu filsafat atau sikap yang berhubungan dengan kemanusiaan, tujuan dan keinginannya, daripada sesuatu yang bersifat abstrak dan masalah teologi. Dalam Konfusianisme manusia adalah pusat daripada dunia: manusia tidak dapat hidup sendirian, melainkan hidup bersama-sama dengan manusia yang lain. Bagi umat manusia, tujuan akhirnya adalah kebahagiaan individu. Kondisi yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan adalah melalui perdamaian. Untuk mencapai perdamaian , Khonghucu (Confucius) menemukan hubungan antar manusia yang meliputi Lima hubungan (Ngo Lun) berdasarkan Cintakasih dan Kewajiban. Peperangan harus dihindarkan; dan Persatuan Besar dari seluruh dunia harus dikembangkan (Kang,Thomas Hosuck). Agama atau kepercayaan akan ajaran ini sampai saat ini masih banyak digunakan oleh orang-orang keturunan China di seluruh dunia sehingga bangsa Tiongkok dikenal sebagai bangsa Konfusianis atau bangsa Kong-Hu Chu.
Dari sedikit penjelasan diatas, maka dapat saya ditarik garis merah sebagai kesimpulan sekaligus analisa saya pribadi bahwa penyebaran budaya Tiongkok di Asia Timur menjadi titik rujukan utama untuk mencari alasan mengapa Tiongkok sempat dan masih sangat disegani di kancah internasional umumnya dan Asia Timur khususnya. Kuatnya pengaruh Tiongkok ini tidak lepas dari sudut pandang geostrategi yang diterapkan oleh dinasti-dinastinya dahulu. Tiongkok yang dibatasi oleh Gurun Gobi dan Samudra Pasifik menjadi sulit ditembus oleh pengaruh luar. Di sisi lain, Tiongkok sangat berhasil menguasai strategi geopolitik di dalam setiap ekspansi dinastinya. Salah satunya dibuktikan oleh usaha dinasti Han yang ingin menunjukkan superioritasnya ke Jepang dengan menduduki Korea. Korea yang notabene berada diantara China dan Jepang merupakan titik awal terbaik bagi Han untuk menguasai Jepang secara budaya maupun secara sosial. Ciri khas budaya Tiongkok di Asia Timur bahkan di dunia Internasional sangat terlihat juga pada kepercayaan yang dianut oleh orang “ras kuning” (China,Jepang,Korea,dsb) yang masih banyak menggunakan paham Konfusianis (pada era setelah reformasi, Jepang dan Korea mulai berubah haluan kepercayaan namun tidak berarti ideologi Konfusianis tak membekas pada tingkah sosial mereka) dan juga pada huruf yang digunakan yang sempat menjadi alat komunikasi antar negara Asia Timur karena memiliki persamaan arti dan bentuk meski cara baca sudah berbeda.
REFERENSI
-Tjeng,Lie Tek.1977.Studi Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya.Bandung:Penerbit
alumni

geopolitik kontemporer

Konstelasi geopolitik dunia pada abad 21 menempatkan faktor energi menjadi salah satu kepentingan nasional, tidak jauh berbeda seperti pada abad 20. Semua negara maju yang masuk dalam kelompok OECD, G8, G7 APEC atau forum multilateral lainnya menempatkan energy security sebagai agenda utama kepentingan nasional. Maka tidaklah mengherankan seandainya Deep Stoat (2003) dalam suatu kajian strategisnya mengatakan "if you would understand geopolitics today, follow the Oil" dan pernyataan ini sekaligus mengkonfirmasikan bahwa teori atau pemahaman geopolitik masih berlaku sepanjang masa, dan sangat erat relevansinya dalam era globalisasi guna memberikan arah yang terukur untuk kepentingan nasional suatu bangsa.

Teori geopolitik kontemporer memiliki minyak sebagai faktor utamanya. Jika geopolitik dihubungkan dengan minyak sebagai salah satu faktor maka konteks teori geopolitik yang digunakan tidak lagi terfokus pada negara, utamanya negara-negara di barat melainkan bersifat strategis dan politis, merupakan usaha negara marjinal untuk menentang dominasi negara maju, serta terkait dengan ekstraksi sumber daya alam,(Flint, 2007: 16). Sesuai dengan pernyataan dari Flint dan Stoat diatas, Dalam beberapa tahun terakhir ini permasalahan mengenai atau yang memiliki hubungan dengan energi dan keamanan telah menjadi fokus-fokus baru dalam kancah perpolitikan global baik itu di ranah keamanan internasional ataupun geo-ekonomi. Beberapa isu seperti peran-peran negara dalam memberi kontrol atas sumber-sumber energi, konsekuensi-konsekuensi yang terjadi dalam kompetisi antar negara dalam kontrol sumber energi dan mengenai isu-isu keamanan seperti terorisme menjadi bahan perdebatan antar negara di abad ke-21 ini.

Dalam hal geo-ekonomi dan energi, menurut catatan cadangan minyak Amerika Serikat akan merupakan yang terbesar di abad ke-21 ini karena saat ini semua minyak di negeri Paman Sam ini dihemat secara besar-besaran. AS mengimpor minyak dari Timur Tengah sehingga penguasaan kawasan ini sampai sekarang menjadi salah satu ujung tombak politik luar negeri. Jadi sehubungan dengan perubahan geopolitik dunia saat ini dan masa mendatang ditentukan oleh penguasaan terhadap pangan, energi, dan air bersih. Sumber konflik pada masa mendatang bukan lagi soal agama, wilayah, dan keamanan seperti apa yang diwacanakan dalam teori-teori geopolitik klasik melainkan telah mengalami pergeseran penguasaan sumber energi dan bahkan tidak menutup kemungkinan cangkupannya lebih meluas lagi kearah pasokan pangan. Sehingga untuk enghadapi tantangan global masa kini dan masa datang seperti yang dikatakan Presiden SBY, diperlukan kesadaran baru dan tanggung jawab bersama dari semua bangsa di dunia, dari seluruh umat manusia, termasuk kesediaan untuk membangun gaya hidup yang pro-keselamatan bumi.



Selain mengenai energi, sesuai yang di wacanakan oleh SBY pada KTT ASEAN tanggal 4 April yang lalu, kalau kita memahami geopolitik abad 21 ini, maka dunia akan tampak kembali pada sifat multipolar dalam hal hubungan internasionalnya dengan sejumlah isu-isu global, termasuk perubahan iklim. Geopolitik global telah berubah menjadi multipolar dengan berbagai pusat pengaruh dan kekuatan. Berbagai tantangan dan ancaman saat ini bersifat multi-dimensional tanpa mengenal lagi batas negara dan waktu. Ancaman mutakhir kepada dunia saat ini bersifat non tradisional, tetapi memiliki potensi dampak yang luar biasa. Perubahan iklim, krisis pangan, energi, air dan keuangan bisa disebutkan diantaranya, serta bahaya pandemik global yang dapat menjadi mesin pembunuh manusia dalam skala global.

Fakta revolusi teknologi dan informasi yang terjadi, juga telah mengubah dunia menjadi small village. Kondisi global tersebut, mendorong semua dari negara untuk mampu beradaptasi secara cepat, tepat, cerdas dan terukur. Negara dituntut lebih cepat untuk membaca apa yang menjadi kepentingan Indonesia dan menciptakan peluang baru. Tiap negara juga dituntut pula untuk dapat memanfaatkan aset dan potensi yang dimiliki, sehingga harapan mesin diplomasi dapat menjadi alat untuk mencapai kepentingan nasional, dapat terwujud. Untuk dapat menerjemahkan aset diplomasi menjadi tangible currency demi kepentingan rakyat, pada seluruh tingkatan, baik bilateral, regional maupun multilateral, tiap negara dituntut untuk dapat mengidentifikasi secara cermat apa yang menjadi kepentingan nasional dan bagaimana mewujudkannya.

Perubahan iklim adalah salah satu masalah ekonomi dan geopolitik Abad Ke-21. Naiknya India dan Cina dalam perkembangan tingkat industri membuat pemanasan global semakin parah. Semakin banyaknya industri yang muncul di negara-negara ini membuat kadar emisi gas karbon meningkat.



Jadi dapat disintesiskan bahwa kajian geopolitik kontemporer tepatnya geopolitik di abad ke-21 ini sudah bergeser fokusnya. Bukan lagi merupakan rumusan untuk menguasai dunia dengan negara kuat sebagai aktor kunci namun lebih kepada bagaimana strategi bagaimana negara-negara yang sedang berkembang saling bersaing untuk memperebutkan sumber alam demi “menyaingi” eksistensi negara-negara besar. Di lain sisi, problematikanya juga telah meluas karena banyaknya isu-isu global yang muncul seperti isu krisis ekonomi, perubahan iklim, hingga terorisme


GREAT DEBATES II 9 (NEO-NEO)

Neorealisme vs Neoliberalisme
Neorealisme, atau biasa disebut juga sebagai realisme struktural merupakan salah satu dari varian modern dari kajian realisme yang sebenarnya masih memiliki asumsi dasar dan aktor yang sedikt banyak sama dengan realisme klasik. Bisa dikatakan paham ini masih berkutat kepada perilaku negara dan mencoba untuk mencari penjelasan kenapa negara itu selalu saja dikaitkan dengan hal-hal seperti konflik, power, dan self-interested. Asumsi dasar dari pemikiran neorealis masih sama dengan realisme klasik yaitu pada dasarnya dunia adalah anarki dan manusia yang ada di dalamnya ialah jahat. Sehingga pemikiran-pemikiran dari neorealis berakar dari suatu kondisi yang dianggap sebenarnya tak dapat dihindari yaitu sifat dasar manusia yang egois, bersaing, dan cenderung berkonflik. Namun dalam konteks negara, perilaku negara yang keras dianggap sebagai satu hal yang sudah semestinya di dalam suatu politik internasional. Merajuk pada pernyataan international politics is struggle of power (Morghentau,1985) memastikan pendapat kaum realisme klasik yang kemudian diwariskan dalam neorealisme bahwa dunia atau politik international itu penuh dengan persaingan, ketidakpercayaan, konflik, dan bahkan bisa juga dikatakan amoral
Memang antara realisme klasik dan realisme struktural atau neorealisme memiliki pandangan yang sama namun berbeda atas beberapa hal namun secara normatif, realis tidak sejalan dengan neorealis yang lebih melihat kejadian secara empiris. Realis mengkaji mengenai konflik berangkat dari pemikiran normatif dari beberapa tokoh seperti Macchiaveli, dan Hobbes yang pesimis dan skeptis atas sifat dasar manusia yang cenderung egois dan sistem internasional yang konfliktual. Hal ini berlaku secara general dan memang telah menjadi state of nature dari paham neorealis.
Di dalam teori struktural ini, penjelasan mengenai perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia atau negara, akan tetapi lebih kepada akibat dari satu sturktur yang menjadi konteks perilaku negara. Seperti yang dipahami bersama bahwa di dalam dunia anarki negara dianggap harus bisa melakukan tindakan atas apa yang diinginkan untuk mendapat suatu keuntungan yang besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara tidak dapat tergantung dari suatu bentuk institusi karena itu hanya akan menjadi useless dan memang pada hakekatnya negara hanya akan percaya pada kemampuannya sendiri (self-help), dengan cara mengumpulkan berbagai sarana terutama militer untuk berperang melawan negara lain dan juga sarana-sarana lain untuk menunjang kehidupan negara. Akan tetapi disini muncul satu dilemma, disaat satu negara mencoba untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekekuatan (terutama) militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema keamanan. Oleh karena itu di dalam neorealist pun tidak dihindari adanya suatu bentuk kerjasama meski memang dianggap sedikit mustahil dan sulit karena adanya asas no trust antar satu dengan yang lain. Selain itu juga adanya sifat hubungan yang bertumpu pada relative gain membuat negara-negara yang lebih lemah enggan melakukan kerjasama dengan negara kuat karena dianggap hanya akan dimanfaatkan dan dirugikan.
Mengutip apa yang ditulis oleh Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics, dalam penekanan terhadap pentingnya struktur terhadap perilaku negara, neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan tugas, tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka’ (Waltz, 1979 : hlm. 96).
Sedangkan neoliberal yang muncul dikala liberal dikritik dan dikalahkan oleh kaum realist pada masa perang dunia dua menyadari bahwa liberal klasik salah dalam memandang dunia yang memang sebenarnya anarki. Sehingga muncullah neoliberalis yang memiliki asumsi dasar sama dengan realis yaitu pada dasarnya dunia ini adalah anarki dan kekuasaan negara ialah kekuasaan tertinggi. Disini juga negara masih dianggap sebagai suatu subjek yang egois, self help, self oriented akan tetapi tidak berarti neoliberal mengakui bahwa hanya negara yang memiliki peran absolut dalam hubungan internasional (state-centered). Dalam hubungan internasional, mereka menilai organisasi internasional, perusahaan multinasional merupakan aktor subordinat dalam sistem. Kehadiran aktor subordinat ini dapat menjalankan beberapa peran yang tidak dapat dilakukan oleh negara.
Walaupun memiliki pandangan yang sama terhadap satu sistem internasional dengan realis dan neorealis yaitu sistem anarki yang mengedepankan negara sebagai aktor utama namun hal yang berbeda terdapat pada peran kerjasama dan institusi yang cenderung mustahil bagi kaum realis. Neoliberal percaya bahwa kerjasama masih dapat terus dilakukan dan bahkan tidak akan pernah oudated karena setiap aktor negara bersifat rasional yakni selalu terdapat kecenderungan mereka menghindari perang dan seminimal mungkin melakukan kerjasama menggunakan asas trust dan mutual gain atau absolute gain yang berarti keuntungan atas dua belah pihak. Dengan kata lain, suatu bentuk kerjasama tidak akan terjadi apabila tidak ada kepercayaan satu sama lain dan nantinya akan menghasilkan relative gain.
Keberhasilan kerjasama di dalam neoliberal selain dengan adanya faktor kepercayaan juga dipengaruhi oleh aktor-aktor non negara yang. Keberhasilan kerjasama ini tidak sepenuhnya tergantung pada keberadaan satu negara hegemoni (Steans, 2009 : hlm 135). Ini berarti adanya satu kepentingan yang bisa dicapai dengan adanya kerjasama antar aktor.
Mengutip tulisan Jill Steans dalam salah satu literaturnya bahwa ide pokok neo-liberal ialah hubungan internasional yang diinstitusionalisasikan (Steans, 2009 :hlm 135). Maka salah satu inti dari neoliberal ialah pentingnya peranan institusi-institusi. Seperti yang tertulis diatas bahwa kerjasama merupakan hal penting dalam mencapai keuntungan namun di dunia anarki seperti ini kerjasama tidak mudah dilakukan. Terutama untuk mempertahankan dan memaksimalkan keuntungan yang ada. Sehingga dibutuhkan suatu peran aktor yang mampu memaksimalkan keuntungan. Disinilah penjelasan terhadap pentingnya institusi, rezim internasional dan organisasi di dalam hubungan internasional versi neoliberal. Jadi selama suatu institusi dapat membuat suatu aturan bersama dan mencegah market failures, institusi masih dianggap signifikan dan penting dalam hubungan internasional. Berbeda dengan pendapat neorealis yang mengatakan institusi itu tidaklah penting karena tidak akan memberikan banyak pengaruh terhadap negara (Mearsheimer, 1994 : hlm 7)
Dari sedikit penjelasan singkat mengenai Great Debates II antara neorealist dan neoliberalis (atau biasa disebut debat neo-neo) maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mendasar sebagai berikut:
Dalam memandang sistem dunia, baik neoliberal dan neorealis memiliki pandangan yang sama yaitu anarki, state power, dan self-interest
Perbedaan terdapat pada cara pandang terhadap isu korporasi. Neorealis beranggapan korporasi sulit dilakukan dan bahkan hampir tidak mungkin karena tidak adanya trust. Sedangkan hal sebaliknya berlaku pada neoliberalis
Penyebab sulitnya pencapaian kerjasama dalam neorealis ialah karena adanya asas relative gain. Sedangkan dalam neoliberal kerjasama lebih mudah karena adanya mutual atau absolute gain.
Institusi dianggap tidak penting bagi neorealis dan sebaliknya bagi neoliberal selama institusi masih dapat membuat aturan yang berujung pada keuntungan bersama.
Menurut saya pribadi, pada era dunia global saat ini, eksistensi neorealisme seakan tertutup oleh dominasi neoliberal. Ini bukan berarti saya mengatakan neorealisme telah usang. Namun melihat dari kenyataan, dunia lebih concern terhadap isu-isu global baru yang bersifat low politics seperti isu-isu lingkungan dan ekonomi daripada yang menyangkut stabilitas dan keamanan yang bersifat high politics. Globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan faktor ekonomi menuntut dunia untuk saling bekerja sama dan melengkapi satu sama lain (interdepedensi). Pembangunan yang tidak merata memperkuat faktor mengapa dunia harus bekerja sama. Dan memang benar pada kenyataannya pada era globalisasi ini kapitalisme kian meningkat dan interdepedensi menjadi semakin mencuat. Meningkatnya peran NGO, PBB, IMF, dan beberapa institusi internasional lain dalam mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku negara bagi saya semakin memperkuat eksistensi neoliberal atas neorealis.

Referensi
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Burchill,Scott.2001.Liberalism di dalam Theories of International Relations.New York. Palgrave.
Griffiths,Martin and Terry O'Callaghan.2002.International Relation : The Key Concept.New York: Routledge.
Donnelly,Jack.2005.Realism in Theories of International Realtions.NewYork:Palgrave Macmillan.