Greetings

LET'S GET CRAZY WITH THIS BLOG



Minggu, 23 Mei 2010

TANTANGAN EKONOMI ABAD 21 DAN SIGNIFIKANSINYA TERHADAP
EKSISTENSI PARTAI POLITIK DI INDONESIA SERTA PROYEKSI EKONOMI POLITIK INDONESIA HINGGA 2050

Oleh:
Oki Astriani
Olivia Susanto
Zulfikar Fauzi
Gris Sintya B
Mira Dia Lazuba
Ardhi Varian
Qisthi Aulia

Abstraks
Kemajuan dalam perekonomian dunia membawa implikasi tersendiri bagi kehidupan politik suatu negara. Indonesia seringkali diproyeksikan sebagai salah satu calon negara besar yang akan memimpin dunia. Dalam proyeksi ini, penulis memprediksikan kemampanan ekonomi akan memberikan pengaruh bagi prospek keberadaan partai politik dalam sistem politik Indonesia. Ada kecenderungan eksistensi partai-partai politik yang saat ini berkuasa, nantinya akan digantikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang lebih mengetahui dan memahami urgensi kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan politik yang memang telah berubah.

Deskripsi Indonesia di Era Kekinian
Indonesia saat ini merupakan negara yang dapat digolongkan maju di Asia Tenggara. Dari segi ekonomi, Indonesia pada tahun lalu dapat mencapai GDP 1500 per kapita yang masih di atas beberapa negara Asia Tenggara lain. Dalam hal politik misalnya, Indonesia diakui sebagai salah satu negara percontohan demokrasi di kawasan Asia Tenggara, selain Thailand dan Filipina. Akan tetapi, isu yang muncul akhir-akhir ini baik di Thailand ataupun di Filipina mencoreng nilai-nilai demokrasi di negaranya sehingga mambuat posisi Indonesia menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh kasus, penjelasan berikut dapat memberikan gambaran keadaan ekonomi dan politik di Indonesia saat ini.
Sebelum kasus bailout Bank Century, nama Sri Mulyani Indrawati memang tidak terlalu mencolok. Apalagi setelah berita kesediannya sebagai managing director di World Bank (Bank Dunia) per 1 Juni 2010, nama Sri Mulyani menjadi nama yang tidak asing lagi. Dengan kemampuan dan pengalamannya dalam mengelola perkembangan ekonomi negara middle-income yang masih menghadapi tantangan-tantangan kemiskinan, ia dipercaya untuk menduduki posisi prestisius internasional tersebut (Sri Mulyani Given Office in World Bank, pada http://en.vivanews.com/news/read/148869-sri_mulyani_given_office_in_world_bank, diakses 23 Mei 2010). Meskipun demikian, bukan berarti pengunduran diri Sri Mulyani dari posisi sebelumnya (sebagai Menteri Keuangan Indonesia) tidak memberikan implikasi apapun, khususnya terhadap perekonomian dan sistem politik Indonesia secara umum.
Tanggal 5 Mei 2010, saham Indonesia menurun tajam dari 3,2 persen menjadi 2,863.44 persen. Hal ini terjadi hanya beberapa jam setelah pengumuman intensi Sri Mulyani untuk menjabat sebagai managing director dari World Bank, meskipun faktor-faktor lain sebenarnya turut berkontribusi akan penurunan ini (Indonesian Stock Market Drops After Sri Mulyani Resignation, pada http://www.thejakartaglobe.com/business/indonesian-stock-market-drops-after-sri-mulyani-resignation/373214, diakses 23 Mei 2010).
Komunitas bisnis internasional dan analis-analis pasar juga menunjukkan kekecewaan dan keprihatinannya mengenai masa depan dari reformasi program Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah pengunduran diri Sri Mulyani. Kebanyakan dari mereka akan mengamati siapa kandidat pengganti Sri Mulyani sebelum memberikan pandangan yang konkrit mengenai dampak pengundurannya terhadap kelanjutan kesepakatan bisnis di Indonesia. Clifford D. Rees, chairman dari European Chamber of Commerce di Indonesia, menyatakan bahwa ia merasa ‘sangat hancur’ dengan keputusan tersebut, dan komunitas bisnis Eropa sangat tidak puas dengan berita tersebut, serta menduga keikutsertaan politik dalam kemunduran Sri Mulyani, meskipun tidak secara langsung (Investors Uneasy Over Sri Mulyani Departure, pada http://www.thejakartaglobe.com/business/investors-uneasy-over-sri-mulyani-departure/373362, diakses 23 Mei 2010). Peter Fanning, chairman dari International Business Chamber, menyatakan keberangkatan Sri Mulyani sebagai ‘langkah mundur’ bagi Indonesia, namun tidak serta merta menggelincirkan agenda reformasi SBY.
Namun tidak dapat dipungkiri pula, bahwasanya pengunduran diri Sri Mulyani memberikan pengaruh bagi perekonomian Indonesia. Sehari setelah pengundurannya, nilai tukar Rupiah semakin menurun, bahkan memaksa Bank Indonesia untuk mengintervensi (Rupiah Continues to Drop after Sri Mulyani Announcement, pada http://www.thejakartaglobe.com/business/rupiah-continues-it-drop-after-sri-mulyani-announcement/373437, diakses 23 Mei 2010). Karena itu, Fauzi Ichsan, ekonom senior di Standard Chartered Bank Indonesia memberikan empat syarat yang harus dipenuhi oleh pengganti Sri Mulyani: pertama, ia harus memiliki kemampuan, kredibilitas, dan kualitas pemimpin serta disiplin makro; kedua, ia harus memiliki ketekunan untuk mereformasi birokrasi, meskipun hal itu akan bertabrakan dengan kepentingan-kepentingan bisnis; ketiga, ia harus memiliki kekuatan mental untuk tetap tenang dalam menghadapi krisis apapun; dan keempat, ia harus memiliki kemampuan untuk menjembatani pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Sri Mulyani Vows to Support New Finance Minister, pada http://www.thejakartaglobe.com/home/sri-mulyani-vows-to-support-new-finance-minister/374378, diakses 23 Mei 2010).
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya peran seorang Sri Mulyani dalam memajukan perekonomian Indonesia memang cukup signifikan. Konfrontasi langsungnya terhadap kepentingan-kepentingan pribadi di DPR dan sektor swasta merupakan contoh konkret usahanya dalam mengembangkan institusi pemerintahan yang efisien dan transparan di Indonesia (Letter: Reform After Sri Mulyani’s Departure, pada http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/07/letter-reform-after-sri-mulyani%E2%80%99s-departure.html, diakses 23 Mei 2010). Dengan kemundurannya, dapat dikatakan bahwa ‘kepentingan-kepentingan pribadi di DPR’ tersebut telah berhasil, setidaknya dalam jangka pendek.
Kemunduran Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan Indonesia bisa jadi melemahkan perekonomian Indonesia, dengan munculnya pesimistis dari rekan-rekan bisnis Indonesia. Tidak hanya itu, politisi-politisi yang ‘menang’ juga serasa mendapatkan ‘angin’ dengan bertahan pada kursi-kursi ‘wakil rakyat’. Memang ironis, ketika para ‘wakil-wakil rakyat’ tersebut tidak sepenuhnya mewakili rakyat, malah mewakili kepentingan pribadinya. Sedangkan Sri Mulyani, yang kemudian diyakini lebih nasionalis ketimbang egoistis, justru dituntut untuk mundur dari jabatan Menteri Keuangan setelah memutuskan untuk menyetujui bailout Bank Century. Ironisnya, media yang dinilai dapat membentuk opini masyarakat, justru memberikan banyak keterangan terhadap tim-tim yang mendukung mundurnya Sri Mulyani dan Boediono sebagai kambing hitam meskipun statement mereka dianggap lemah dan kurang kuat (Sri Mulyani: Indonesian Wonder Woman, pada http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/11/sri-mulyani-indonesian-wonder-woman.html, diakses 23 Mei 2010).
Kepergian Sri Mulyani meningkatkan kekuasaan kapital di Indonesia, di mana politisi-politisi busuk merupakan orang-orang yang bertanggungjawab terhadap melapetaka intelektual ini. Bukan hal yang baru jika sarjana-sarjana terbaik Indonesia lebih memilih tinggal di luar negeri daripada di tanah kelahirannya sendiri. B.J. Habibie dan Ken Soesanto adalah contoh yang bagus. Bayangkan saja, seorang anggota DPR muda dan tidak berpengalaman memiliki gaji sepuluh kali lebih besar daripada dosen bergelar PhD (Sri Mulyani: Indonesian Wonder Woman, pada http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/11/sri-mulyani-indonesian-wonder-woman.html, diakses 23 Mei 2010).
Masa depan Indonesia sekarang terletak pada Presidennya. Menteri Keuangan yang akan menggantikan Sri Mulyani merupakan langkah awal yang menentukan masa depan perekonomian dan perpolitikan Indonesia: jika pilihan SBY tepat, di mana pengganti Sri Mulyani dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik ditambah peran Sri Mulyani sendiri di Bank Dunia, Indonesia akan mendapatkan tempat tersendiri dalam kancah perpolitikan dunia, yang kemudian akan memperbesar power Indonesia; namun jika gagal, dan semoga tidak, masa depan negara kepulauan ini akan semakin suram. Dengan keadaan perpolitikan yang semakin bobrok, entah bagaimana masa depan negara ini.

Prediksi Kondisi Ekonomi dan Politik 50 Tahun Ke Depan
Ketika membicarakan tahun 2050, tidak akan mungkin terlepas dari permasalahan globalisasi. Seiring berkembangnya kapitalisme global memunculkan hak setiap negara untuk memperkaya diri sekaya mungkin. Semakin kuatnya arus globalisasi membuat Indonesia akan menjadi negara yang jauh lebih terbuka dalam segi ekonomi politik. Terbuka di sini ialah Indonesia mampu menjadi salah satu pihak yang akan menjadi tujuan utama para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan birokrasi yang lebih mudah. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya sistem teknologi dan informasi serta munculnya para pemimpin baru yang kompeten untuk mengatur dan mengarahkan demi menuju ke tujuan tersebut.
Dinamika dunia yang berjalan dengan derasnya arus globalisasi tidak hanya membawa perubahan dalam sektor tertentu, seperti budaya, ekonomi, teknologi, tetapi politik juga menjadi salah satu fokus target pengembangan pemikiran yang telah harus ditargetkan sejak kini. Pada tahun 2050, akankah substansi politik akankan di sejajarkan dengan ekonomi ataukah ekonomi atau politk akan saling bersaing untuk menjadi prioritas utama manusia atau politk dan ekonomi akan dileburkan menjadi suatu kesatuan yang tidak memiliki perbedaan. Berikut ini adalah deskripsi dari beberapa proyeksi politik pada tahun 2050.
Riset yang dilakukan oleh Goldman Sachs memperkirakan bahwa pada sekitar tahun 2040, kemampuan ekonomi Brasil, Rusia, India, dan China (untuk selanjutnya disingkat BRIC) akan melampaui G-6, kelompok negara maju yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Perancis, dan Italia. Kemampuan ekonomi di sini diukur dari produk domestik bruto (PDB). Kalau ini benar, akan terjadi perubahan geoekonomi yang pada gilirannya akan membawa pergeseran geopolitik. Peranan Indonesia dalam perubahan geopolitik ini akan ditentukan oleh kemampuannya untuk mengembangkan ekonomi nasional dalam dinamika Asia yang berkembang pesat.
Ekonomi yang akan mendorong orang-orang dan bisnis serta institusi untuk berbagi kemakmuran dan berpartisipasi secara aktif dalam membawa kemakmuran bagi orang lain, menghasilkan income bukan sesuatu yang terlalu dipermasalahkan. Pengangguran dan kesejahteraan tidak diperdengarkan lagi karena lapangan pekerjaan banyak dibentuk oleh badan ekonomi swasta maupun pemerintahan.
Nampak saat ini, bahwa sistem kapitalisme telah berkembang di seluruh dunia, kerja sama Indonesia pun nampak sekarang lebih mengarah pada kerja sama untuk pengembangan ekonomi. Amerika Serikat, China, Inggris dan anggota dalam ASEAN yang saling tumpu menumpu pula dalam masalah ekonomi, dan gabungan dari G-20. Dapat di proyeksikan jika dominasi begitu kuat, nampak bahwa kedudukan politik adalah alat tetapi ekonomi adalah goals yang ingin di capai.
John Hawksworth memaparkan hasil kajiannya yang berisi perbandingan proyeksi pertumbuhan negara-negara maju yang tergabung dalam G7 (Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, dan Kanada), ditambah dengan Spanyol, Australia, dan Korea Selatan, dan “the seven largest emerging market economies”, yang disebut sebagai E7 (Brazil, Rusia, India, China, Meksiko, Indonesia, dan Turki), yang disingkat populer menjadi BRIC-MIT.
Bagi Indonesia, paparan John Hawksworth memberikan optimisme masa depan. Karena di tahun 2050, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keenam dunia dibawah AS, China, India, Jepang dan Brazil. Lebih besar dari kekuatan ekonomi dunia saat ini seperti Jerman, UK, Kanada, Perancis dan Italia. Pada tahun 2050 GDP per capita Indonesia diproyeksikan mencapai US$23.000, bandingkan dengan GDP per capita di tahun 2005 yang sebesar US$1.250.
Pada tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di antara Kanada dan Turki. Dalam hal ini, PDB Indonesia akan menempati urutan ke-14, Kanada berada di atasnya urutan ke-13. Dua puluh lima tahun kemudian, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ketujuh perekonomian dunia, melampaui Jepang, Inggris, Jerman, Nigeria, Perancis, Korea, dan Turki.

Proyeksi Eksistensi Partai Politik Dalam 50 Tahun Mendatang
Gambaran di atas memberi implikasi yang penting bagi Indonesia. Tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi mencakup aspek yang lebih luas termasuk politik luar negeri dan pertahanan. Pertama, ekonomi Indonesia perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dinamika Asia yang berkembang cepat itu dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pembangunan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Semua potensi pembangunan, tidak hanya sumber daya alam, tetapi yang lebih pokok adalah sumber daya manusia, infrastruktur, ruang (teritori), dan teknologi harus dioptimalkan. Dua potensi pembangunan terakhir selama ini kurang dimanfaatkan secara baik bagi peningkatan kemampuan ekonomi kita. Di sini pentingnya strategi industrialisasi dan teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari arah pembangunan ekonomi mendatang. Kedua, mempertegas arah pembangunan ekonomi yang akan ditempuh dalam jangka panjang. Secara konsep kita sudah mempunyai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sampai tahun 2025. Di sini peranan kepemimpinan dan pemerintah yang kuat serta sistem sosial, politik, dan budaya yang mendukung sangat besar. Ketiga, meningkatkan peranan Indonesia paling tidak di Asia Tenggara dalam waktu dekat. Agar berperan lebih besar dalam dinamika Asia menuju tahun 2050, Indonesia perlu secepatnya kembali memainkan peran yang lebih besar di ASEAN, baik bidang ekonomi, politik, maupun pertahanan. Langkah ini penting mengingat geoekonomi dan geopolitik ASEAN sangat strategis. Dengan demikian, posisi tawar Indonesia tidak saja sebagai negara, tetapi satu kawasan yang sangat strategis. Kuncinya ekonomi kita harus maju, stabilitas politik dalam negeri harus mantap, dan politik luar negeri kita harus progresif.
Lalu jika disimpulkan, proyeksi Indonesia 2050 lebih mengarah pada perkembangan teknologi dan lebih mengarah pada perkembangan ekonomi yang pesat, kerjasama besar oleh negara maju saja mulai sudah dikembangkan sekarang, dan Indonesia sebagai negara berkembang pun pasti akan terus mendorong kebangkitan ekonominya sehingga sejajar dengan apa yang diprediksikan oleh beberapa pengemuka di atas yang menyatakan bahwa Indonesia akan berkembang dan menjadi salah satu maju dan menyaingi negara maju saat ini yang juga mulai banyak bermunculan. Visi misi Indonesia pun lebih mengembang di isu ekonomi. Beberapa pemikir pun mengatakan pada tahun 2050 juga akan ada suatu perubahan dalam beberapa hal, diantaranya adalah: mata uang global yang digunakan oleh setiap sudut masyarakat di dunia; kebijakan politik dan ekonomi bersama, tidak ada komando masing-masing negara; dan bebas pasport dan pajak perdagangan sehingga dunia bebas melakukan pengembangan ekonomi.
Ada hal yg menarik ketika membicarakan tentang masa depan Indonesia. Salah satunya ialah di dalam artikel tulisan John Hawskword yang mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara besar ke-6 di dunia mengalahkan Jerman dan Inggris. Maju disini memang bukan dari segi ekonomi saja. Melainkan juga dalam hal politik. Di masa-masa yang akan datang, politik dan ekonomi akan tampak lebih melebur menjadi satu. Permasalahan ekonomi terutama ekonomi internasional akan banyak diikutsertakan dalam ranah politik. Tidak perlu jauh jauh. Menilik kasus yang baru saja terjadi, masalah Bank Century yang pada awalnya hanya permasalahan ekonomi yg dianggap “menghilangkan” sejumlah uang nasabah menjadi isu politik karena dianggap ada sangkut pautnya dengan kampanye pilpres 2009 lalu.
Ekonomi politik Indonesia pada masa 2050 dalam tulisan John Hawskword diprediksi akan berhasil. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa sebab. Sebab pertama ialah jumlah penduduk yang sangat banyak. Indonesia dianggap memiliki banyak SDM yang dapat menjadi berkualitas dalam jangka waktu 40 tahun ke depan demi tercapainya visi Indonesia ini. Tingginya jumlah penduduk di Indonesia memberi Indonesia kesempatan lebih besar dalam melakukan perkembangan pembangunan dalam hal ekonomi politik. Dalam hal ini SDM produktif Indonesia akan jauh lebih besar daripada negara lain seperti Jepang dan Inggris yang penduduknya lebih sedikit dan kebanyakan telah mencapai usia tuanya (non-produktif).
Proyeksi ekonomi Indonesia juga akan mengenai titik GDP US$18.000 pada tahun 2050 yang mana ini berarti menyaingi Amerika Serikat. Mengapa bisa demikian. Jika dipandang dari perkembangan Industri di Indonesia yang sudah bisa lebih kreatif lagi. Dengan bantuan dari bidang politik, dalam hal ini kebijakan pemerintah mengenai perdagangan dan usaha kecil akan tercapai kemajuan yang signifikan. Pemerintah saat ini mulai membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para pengusaha untuk terus berkreasi bahkan pemerintah mulai mengajukan untuk memberikan pinjaman kepada mereka untuk lebih mengefektifikasi usaha mereka. Hal ini telah membuahkan hasil. Beberapa produk dalam negeri seperti produk-produk kerajinan dan bahkan produksi industri besar sudah mulai laku di pasar global. Jika ini diteruskan bukan tidak mungkin Indonesia akan memiliki kapasitas ekspor yang jauh lebih besar sehingga visi 2050 dapat tercapai.
Dari segi birokrasi pemerintahan dan masyarakat politik, Indonesia akan terus mengembangkan prinsip freedom, rules, tolerance seperti apa yang dikatakan oleh Presiden Susilo B. Yudhoyono pada salah satu pidatonya pada tahun 2007 mengenai visi Indonesia. Apabila ini terus dilakukan dan dikembangkan maka yang akan terjadi adalah demokrasi akan semakin mekar dan kuat serta mengandung harmonisme di dalamnya yang bersifat damai dan bersatu. Dengan ini, demokrasi akan terus berkembang kearah modernisasi pembangunan yang mana akan berimplikasi pada kemudahan-kemudahan dalam melakukan perkembangan diri yang akan menunjang perekonomian negara. Bangsa Indonesia dikenal berhasil mengembangkan tatanan demokrasi yang maju. Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan demokrasi Indonesia kerap dijadikan bahan rujukan bagi sejumlah negara-negara lainnya. Kapasitas bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan demokrasi itu menjadi modal sosial yang sangat potensial untuk ditumbuhkembangkan dan menjadi modal penting bagi visi 2050.
Kemudian, jika dipandang dengan sudut pandang seperti ini maka eksistensi politik Indonesia akan sedikit banyak terangkat oleh isu-isu low politics yang mana saat ini pun Indonesia menjadi salah satu tokoh penting dalam beberapa forum Internasional mengenai isu-isu low politics. Sebut saja isu-isu perubahan iklim yang sering kali diadakan konferensinya di Bali. Perjanjian Bali Concord yang dihadiri oleh negara-negara ASEAN yang menjadi dasar dicetuskannya ASEAN Community. Hal ini membuat pandangan dunia akan perlahan berubah terhadap pencapaian Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki peran penting dalam perpolitikkan Internasional di masa depan.
Dari perspektif-perspektif di atas ditunjang dengan prediksi perekonomian yang demikian, sampailah pada suatu kesimpulan akan eksistensi partai politik dalam sistem politik Indonesia. Ketika kemajuan teknologi tercipta sedemikian pesat, isu-isu di luar politik praktis menjadi lebih diperhatikan. Berkaca dari kondisi politik saat ini, khususnya dari kasus Bank Century, masyarakat akan menuju titik kejenuhan akan kehidupan politik yang kini dianggap sebagai representasi dari negara demokratis terbesar di Asia Tenggara. Kejenuhan in bukan terletak pada sistem demokrasi yang ada, melainkan lebih pada keberadaan partai politik yang sangat mendominasi arus gerak politik di Indonesia.
Perkembangan ekonomi dan kemajuan sumber daya alam menjadi modal besar bagi perusahaan-perusahaan lokal untuk berkembang. Efisiensi dan efektivitas dalam proses manajerial juga dapat menjadi bekal dan strategi kuat untuk menggantikan posisi partai politik. Kejenuhan masyarakat akan terobati ketika kekuatan ini semakin menunjukkan eksistensinya dalam proses pembuatan kebijakan. Bukan tidak mungkin nantinya dominasi partai politik akan luntur dan hilang dan digantikan perusahaan-perusahaan swasta yang nantinya berkembang menjadi perusahaan multinasional dari Indonesia.
Tatanan birokrasi yang menjadi cita-cita demokrasi dan visi Indonesia ke depan menjadi salah satu tuntutan yang semakin mempercepat kebutuhan akan efisiensi politik. Ketika partai politik yang carut marut tidak mampu lagi memberikan solusi dan mewujudkan cita-cita tersebut, perusahaan-perusahaan dengan sistem manajemennya yang terbukti stabil akan lebih mampu memberikan jawaban atas tantangan tersebut.
Di bidang low politics, seperti isu-isu lingkungan, partai politik cenderung tidak memiliki apa yang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) seperti perusahaan. Hal ini menjadi nilai negatif dari partai politik yang memang selama ini hanya berorientasi pada kekuasaan dan memberikan peluang besar bagi berbagai perusahaan swasta untuk duduk dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan tersebut dalam lingkaran dalam proses pembuatan kebijakan.
Inilah beberapa proyeksi Indonesia 2050. Keadaan dunia yang berkembang dengan ekonominya, adalah pengaruh besar bagi Inonesia sendiri sehingga tekanan pengembangan ekonomi domestik sehingga mampu mendunia menjadi beban di pundak Indonesia sendiri. Pemerintah dan swasta pun tidak ada batasan. Pasarlah yang cenderung berkembang dan menetukan jalan perekonomian. Demikian halnya dengan partai politik, peran dan fungsinya akan mendekati kemungkinan untuk digantikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Referensi
Indonesia 2050, [Online]
Pada: http://strategika.wordpress.com/2007/07/19/indonesia-2050-g7-e7-bric-mit/
[Diakses 23 Mei 2010]
Orasi Dies Natalis ITS ke-47, [Online]
Pada: http://danielrosyid.com/orasi-dies-natalis-its-ke-47.html
[Diakses 23 Mei 2010]
Sullivan, W. A., 2010. Letter: Reform After Sri Mulyani’s Departure. The Jakarta Post, [Internet] 7 Mei 2010.
Pada: http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/07/letter-reform-after-sri-mulyani%E2%80%99s-departure.html
[Diakses 23 Mei 2010]
Susanto, H., 2010. Sri Mulyani Given Office in World Bank, [Online]
Pada: http://en.vivanews.com/news/read/148869-sri_mulyani_given_office_in_world_bank
[Diakses 23 Mei 2010]
Syofyan, D., 2010. Sri Mulyani: Indonesian Wonder Woman. The Jakarta Post, [Internet] 11 Mei 2010.
Pada: http://www.thejakartapost.com/news/2010/05/11/sri-mulyani-indonesian-wonder-woman.html
[Diakses 23 Mei 2010]
The Jakarta Globe, 2010. Indonesian Stock Market Drops After Sri Mulyani Resignation, [Online] 5 Mei 2010.
Pada: http://www.thejakartaglobe.com/business/indonesian-stock-market-drops-after-sri-mulyani-resignation/373214
[Diakses 23 Mei 2010]
The Jakarta Globe, 2010. Investors Uneasy Over Sri Mulyani Departure, [Online] 5 Mei 2010.
Pada: http://www.thejakartaglobe.com/business/investors-uneasy-over-sri-mulyani-departure/373362
[Diakses 23 Mei 2010]
The Jakarta Globe, 2010. Rupiah Continues to Drop After Sri Mulyani Announcement, [Online] 6 Mei 2010.
Pada: http://www.thejakartaglobe.com/business/rupiah-continues-it-drop-after-sri-mulyani-announcement/373437
[Diakses 23 Mei 2010]
The Jakarta Globe, 2010. Sri Mulyani Vows to Support New Finance Minister, [Online] 11 Mei 2010.
Pada: http://www.thejakartaglobe.com/home/sri-mulyani-vows-to-support-new-finance-minister/374378
[Diakses 23 Mei 2010]

Minggu, 16 Mei 2010

ADEM AYEM HUBUNGAN RI-IRAN

dikutip dari Kompas Minggu, 16 Mei 2010 03:38 WIB
oleh Rakaryan S

Usia hubungan Indonesia dengan Iran yang telah 60 tahun idealnya memang ditandai dengan sejumlah pilar yang menjadi pertanda sangat kuatnya hubungan itu. Akan tetapi, faktanya, hubungan kedua negara relatif ”adem ayem”. Tidak ada gejolak dan perselisihan di antara kedua negara, tetapi juga bukan sebuah persahabatan yang sangat kuat dan dinamis.
Padahal, Iran termasuk salah satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia. Hubungan budaya kedua bangsa pun telah membentang sejak berabad-abad lalu. Lantas, mengapa hubungan kedua negara lebih sebatas ”adem ayem”?
Sejarah mencatat bahwa pada masa Orde Lama, Indonesia berhubungan baik dengan banyak negara, termasuk Iran, tetapi bukan hubungan yang sangat dalam. Kondisi politik di dalam negeri yang belum sepenuhnya stabil membuat kemampuan Indonesia berhubungan dekat dengan banyak negara menjadi sangat terbatas.
Ilmuwan politik sekaligus Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Nasir Tamara menguraikan, pada awal 1970-an RI dan Iran mulai berhubungan dekat karena sama-sama aktif di organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC ketika Indonesia masih jadi anggota.
Hubungan pemimpin Iran ketika itu, Shah Reza Pahlevi, dengan Presiden Soeharto sangat dekat. Keduanya dikenal sama-sama berhubungan baik dengan Barat, khususnya AS. Saling kunjung dilakukan kedua kepala negara itu.
Tidak mengherankan ketika Shah Iran kemudian digulingkan oleh gerakan Revolusi Islam pada 1979, Indonesia pun bingung menghadapi hubungan politik dan diplomatik RI dengan rezim baru di Iran.
Takut menjalar
Lebih dari itu, menurut Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, pemerintahan Orde Baru ketika itu sangat takut revolusi di Iran akan menjalar juga ke Indonesia. Euforia keberhasilan revolusi Islam di Iran memang di satu sisi juga membangkitkan euforia di sebagian kalangan umat Islam Indonesia untuk menumbangkan rezim Soeharto.
Oleh karena itu, Presiden Soeharto ketika itu menerapkan kebijakan keras terhadap politisasi Islam di Indonesia, menghalangi orang-orang Indonesia untuk pergi ke Iran, serta mengawasi mereka yang pernah ke Iran dan telah kembali ke Tanah Air.
Meski demikian, Azyumardi menambahkan, pemerintahan Orde Baru tidak mengambil kebijakan melarang penyebaran Syiah di Indonesia. Hal itu karena mayoritas umat Islam Indonesia, seperti terwakili dalam Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan banyak organisasi utama lainnya, tidak memandang Syiah sebagai aliran atau mazhab sempalan.
Baru pada menjelang akhir 1980-an, kekhawatiran pemerintahan Orde Baru terhadap ”koneksi” Iran dan Syiah terlihat berkurang secara signifikan, bahkan boleh dikatakan lenyap dari wacana pemerintah dan publik. Presiden Soeharto pun menyambut hangat kunjungan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani ke Jakarta pada pertengahan Oktober 1994. Pada pertemuan itu, kedua presiden sepakat meningkatkan hubungan dagang dan investasi di antara kedua negara.
Pasca-mundurnya Soeharto, pemerintah demokrasi Indonesia yang dimulai Presiden Abdurrahman Wahid mengembangkan hubungan yang lebih terbuka dan hangat dengan Iran dengan melakukan berbagai usaha peningkatan kerja sama ekonomi dan perdagangan. Pada era ini pula kian banyak mahasiswa Indonesia meneruskan studi ke Iran.
Nuklir Iran
Dilihat dari perjalanan sejarah hubungan kedua negara itu, sesungguhnya hubungan politik dan ekonomi RI-Iran baru dijalin lebih serius dan terbuka pada Era Reformasi ini. Akan tetapi, Indonesia pun harus cerdas dan sangat berhati-hati dalam menyikapi tekanan Barat terhadap Iran terkait program pengembangan teknologi nuklir Iran.
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia yang juga menerapkan demokrasi dengan baik, Indonesia bisa dipastikan akan terus dirayu negara-negara adidaya, khususnya AS, untuk mendukung penjatuhan sanksi terhadap Iran meskipun sudah tidak lagi duduk di Dewan Keamanan (DK) PBB. Rayuan serupa ditujukan oleh AS kepada Malaysia.
Dengan pemahaman dan keyakinan yang tinggi terhadap tujuan damai program nuklir Iran, hubungan politik kedua negara bisa terus terjaga baik, bahkan meningkat lagi dengan peningkatan hubungan ekonomi. Bila Indonesia membiarkan dirinya berada dalam tekanan kepentingan negara-negara adidaya, hubungan dengan Iran yang sudah meningkat pesat bisa kembali stagnan.
Sebagai sesama negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia tidak sepantasnya meragukan tujuan damai program nuklir Iran setelah pemimpin tertinggi sekaligus ulama tertinggi Iran memfatwakan bahwa senjata nuklir itu haram.
Indonesia malah perlu lebih waswas terhadap cara-cara Barat dalam menekan Iran, yang selalu mengatasnamakan masyarakat dunia. Faktanya, selama ini, justru negara-negara adidaya Barat yang kerap menggunakan segala cara untuk bisa mencapai tujuannya, termasuk cara-cara yang menyalahi aturan-aturan internasional.
Di bidang ekonomi, dengan penyikapan politik yang terbebas dari tekanan pihak mana pun, Indonesia seharusnya juga kreatif dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang terbuka lebar dalam berhubungan dengan Iran. Beberapa sanksi yang diberlakukan Barat terhadap Iran memang ada pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi Iran.
Akan tetapi, fakta selama ini menunjukkan ada banyak jalan untuk menyiasatinya, seperti dilakukan Malaysia, China, dan banyak negara lainnya. Terobosan-terobosan dalam hubungan ekonomi RI-Iran itulah yang kini harus digali bersama kedua pihak. Dengan demikian, nilai perdagangan kedua negara yang saat ini baru satu miliar dollar AS, bisa meningkat lebih besar.

ADEM AYEM HUBUNGAN RI-IRAN

dikutip dari Kompas Minggu, 16 Mei 2010 03:38 WIB
oleh Rakaryan S

Usia hubungan Indonesia dengan Iran yang telah 60 tahun idealnya memang ditandai dengan sejumlah pilar yang menjadi pertanda sangat kuatnya hubungan itu. Akan tetapi, faktanya, hubungan kedua negara relatif ”adem ayem”. Tidak ada gejolak dan perselisihan di antara kedua negara, tetapi juga bukan sebuah persahabatan yang sangat kuat dan dinamis.
Padahal, Iran termasuk salah satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia. Hubungan budaya kedua bangsa pun telah membentang sejak berabad-abad lalu. Lantas, mengapa hubungan kedua negara lebih sebatas ”adem ayem”?
Sejarah mencatat bahwa pada masa Orde Lama, Indonesia berhubungan baik dengan banyak negara, termasuk Iran, tetapi bukan hubungan yang sangat dalam. Kondisi politik di dalam negeri yang belum sepenuhnya stabil membuat kemampuan Indonesia berhubungan dekat dengan banyak negara menjadi sangat terbatas.
Ilmuwan politik sekaligus Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Nasir Tamara menguraikan, pada awal 1970-an RI dan Iran mulai berhubungan dekat karena sama-sama aktif di organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC ketika Indonesia masih jadi anggota.
Hubungan pemimpin Iran ketika itu, Shah Reza Pahlevi, dengan Presiden Soeharto sangat dekat. Keduanya dikenal sama-sama berhubungan baik dengan Barat, khususnya AS. Saling kunjung dilakukan kedua kepala negara itu.
Tidak mengherankan ketika Shah Iran kemudian digulingkan oleh gerakan Revolusi Islam pada 1979, Indonesia pun bingung menghadapi hubungan politik dan diplomatik RI dengan rezim baru di Iran.
Takut menjalar
Lebih dari itu, menurut Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, pemerintahan Orde Baru ketika itu sangat takut revolusi di Iran akan menjalar juga ke Indonesia. Euforia keberhasilan revolusi Islam di Iran memang di satu sisi juga membangkitkan euforia di sebagian kalangan umat Islam Indonesia untuk menumbangkan rezim Soeharto.
Oleh karena itu, Presiden Soeharto ketika itu menerapkan kebijakan keras terhadap politisasi Islam di Indonesia, menghalangi orang-orang Indonesia untuk pergi ke Iran, serta mengawasi mereka yang pernah ke Iran dan telah kembali ke Tanah Air.
Meski demikian, Azyumardi menambahkan, pemerintahan Orde Baru tidak mengambil kebijakan melarang penyebaran Syiah di Indonesia. Hal itu karena mayoritas umat Islam Indonesia, seperti terwakili dalam Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan banyak organisasi utama lainnya, tidak memandang Syiah sebagai aliran atau mazhab sempalan.
Baru pada menjelang akhir 1980-an, kekhawatiran pemerintahan Orde Baru terhadap ”koneksi” Iran dan Syiah terlihat berkurang secara signifikan, bahkan boleh dikatakan lenyap dari wacana pemerintah dan publik. Presiden Soeharto pun menyambut hangat kunjungan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani ke Jakarta pada pertengahan Oktober 1994. Pada pertemuan itu, kedua presiden sepakat meningkatkan hubungan dagang dan investasi di antara kedua negara.
Pasca-mundurnya Soeharto, pemerintah demokrasi Indonesia yang dimulai Presiden Abdurrahman Wahid mengembangkan hubungan yang lebih terbuka dan hangat dengan Iran dengan melakukan berbagai usaha peningkatan kerja sama ekonomi dan perdagangan. Pada era ini pula kian banyak mahasiswa Indonesia meneruskan studi ke Iran.
Nuklir Iran
Dilihat dari perjalanan sejarah hubungan kedua negara itu, sesungguhnya hubungan politik dan ekonomi RI-Iran baru dijalin lebih serius dan terbuka pada Era Reformasi ini. Akan tetapi, Indonesia pun harus cerdas dan sangat berhati-hati dalam menyikapi tekanan Barat terhadap Iran terkait program pengembangan teknologi nuklir Iran.
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia yang juga menerapkan demokrasi dengan baik, Indonesia bisa dipastikan akan terus dirayu negara-negara adidaya, khususnya AS, untuk mendukung penjatuhan sanksi terhadap Iran meskipun sudah tidak lagi duduk di Dewan Keamanan (DK) PBB. Rayuan serupa ditujukan oleh AS kepada Malaysia.
Dengan pemahaman dan keyakinan yang tinggi terhadap tujuan damai program nuklir Iran, hubungan politik kedua negara bisa terus terjaga baik, bahkan meningkat lagi dengan peningkatan hubungan ekonomi. Bila Indonesia membiarkan dirinya berada dalam tekanan kepentingan negara-negara adidaya, hubungan dengan Iran yang sudah meningkat pesat bisa kembali stagnan.
Sebagai sesama negara berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia tidak sepantasnya meragukan tujuan damai program nuklir Iran setelah pemimpin tertinggi sekaligus ulama tertinggi Iran memfatwakan bahwa senjata nuklir itu haram.
Indonesia malah perlu lebih waswas terhadap cara-cara Barat dalam menekan Iran, yang selalu mengatasnamakan masyarakat dunia. Faktanya, selama ini, justru negara-negara adidaya Barat yang kerap menggunakan segala cara untuk bisa mencapai tujuannya, termasuk cara-cara yang menyalahi aturan-aturan internasional.
Di bidang ekonomi, dengan penyikapan politik yang terbebas dari tekanan pihak mana pun, Indonesia seharusnya juga kreatif dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang terbuka lebar dalam berhubungan dengan Iran. Beberapa sanksi yang diberlakukan Barat terhadap Iran memang ada pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi Iran.
Akan tetapi, fakta selama ini menunjukkan ada banyak jalan untuk menyiasatinya, seperti dilakukan Malaysia, China, dan banyak negara lainnya. Terobosan-terobosan dalam hubungan ekonomi RI-Iran itulah yang kini harus digali bersama kedua pihak. Dengan demikian, nilai perdagangan kedua negara yang saat ini baru satu miliar dollar AS, bisa meningkat lebih besar.

Kamis, 13 Mei 2010

Determinan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Negara


Dalam beberapa minggu terakhir, ketika ada isu presiden Amerika Serikat, Barrack Hussein Obama, mengatakan ingin mengunjungi Indonesia pada bulan Juni mendatang, tidak hanya masyarakat Indonesia, namun juga masyarakat global memberikan respon atas rencana kunjungan ini. Banyak terjadi pro dan kontra atas rencana kedatangan Obama ke Indonesia. Beberapa mengatakan bahwa ini akan menjadi misi yang terselubung bagi Amerika untuk memperkuat pengaruhnya ke Indonesia, namun beberapa lagi mengatakan bahwa hal ini merupakan nilai kemajuan bagi bangsa karena sudah eksistensinya dalam hal ekonomi dan demokrasi telah diakui oleh Internasional. Lalu akan menjadi satu pertanyaan seberapa jauh politik Indonesia saat ini memberikan pengaruh atau signifikansi terhadap apa yang akan menjadi kebijakan di Negara lain? Pada tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk menjawab pertanyaan diatas secara normatif dan teoretis namun akan lebih kepada penjelasan struktural mengenai pemahaman akan kebijakan luar negeri serta determinan yang berpengaruh dalam proses pembuatannya.
Seperti yang jelas dipahami secara umum, bahwa kebijakan merupakan suatu alat yang digunakan suatu negara untuk mendapatkan, memperjuangkan, dan mempertahankan apa yang menjadi tujuan nasional negara tersebut. Seperti yang ditulis oleh K.J Holsti, beliau menuliskan apa yang menjadi kriteria dalam tujuan kebijakan luar negeri antara lain nilai utama yang menjadi tujuan para pembuat kebijakan atau keputusan, ketentuan mengenai jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai kepentingan atau tujuan yang ditetapkan serta tuntutan yang diajukan kepada negara lain dalam suatu kebijakan. Disini terlihat bahwa kompleksitas pembuatan kebijakan sangat tinggi. Si pembuat kebijakan wajib untuk memperhatikan banyak aspek sebelum kebijakan benar-benar akan diputuskan.
Dalam pembuatan suatu kebijakan, menurut apa yang ditulis Howard Lentner, ada dua determinan dasar yang akan sangat mempengaruhi dasar atau input. Dua determinan tersebut ialah determinan dalam negeri dan determinan luar negeri atau system internasional. Dua hal ini menjadi variable penting yang sangat harus dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan dalam satu proses pembuatan kebijakan. Determinan dalam negeri ialah determinan yang mengacu pada apa saja aspek, isu, dan hal-hal yang terdapat di dalam suatu negara. Determinan dalam negeri bisa juga merupakan aktor-aktor yang berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan. Jadi bukan hanya kondisi nasional saja yang dapat member pengaruh kepada pembuatan kebijakan tetapi juga adanya faktor aktor pun dapat dikatakan determinan dalam negeri yang juga akan berpengaruh kuat.
Beberapa aktor yang berperan dalam menjalankan suatu keputusan atau kebijakan yang dapat juga dikategorikan ke dalam kategori determinan dalam negeri seperti yang ditulis oleh Lentner ialah aktor individu (Ideosinkretik), grup atau kelompok, sistem birokrasi negara dan sistem nasional.
Yang pertama adalah aktor individu atau ideosinkretis. Penjelasan mengenai pengaruh individu terhadap suatu proses pembuatan kebijakan tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai pandangan, persepsi, psikologis, dan karakteristik dari individu tersebut. Profil dari seorang pembuat kebijakan menjadi hal utama yang akan mempengaruhi bagaimana Individu memandang dan merespon suatu situasi tertentu. Individu yang berlatar belakang militer pastilah akan sangat berbeda dalam memandang suatu isu dengan individu yang berlatar belakang pengusaha. Individu yang berideologi nasionalis misalnya akan lebih bersifat memperkuat citra negaranya dengan mendukung penuh negaranya agar tidak terpengaruh dengan negara lainnya. Berbeda dengan individu yang berlatarbelakang liberal kapitalis yang tentunya akan menerima banyak pengaruh dari luar dalam hal apapun untuk memajukan negaranya. Selain itu faktor budaya juga akan berpengaruh terhadap cara pembuatan kebijakan atau keputusan seperti misalnya perbedaan Soeharto dan Habibie dalam melakukan pemgambilan keputusan. Soeharto yang berlatar belakang Jawa akan lebih kalem dalam hal mengambil keputusan sedangkan Habibie yang bukan orang berbudaya Jawa tampak lebih simple dalam pengambil keputusan atau kebijakan. Memang benar bahwa ada kemungkinan besar factor individu ideo-sinkretik lebih bersifat pengambilan keputusan-keputusan yang bersifat pragmatis.
Kedua ialah aktor kelompok atau grup. Ketika membicarakan mengenai politik dan kelompok, dapat dipahami jika sumber dari keputusan politik juga sangat dipengaruhi oleh kelompok dalam struktur masyarakat. Kelompok seringkali mewakili masyarakat karena kedekatannya dengan beberapa struktur masyarakat dan juga keanggotaannya yang terdiri dari beberapa kelas sosial. Inilah mengapa kelompok menjadi variable yang mempengaruhi kebijakan suatu Negara dan seringkali mencangkup aspek-aspek sosial, ekonomi dan latar belakang sejarah tertentu. Kelompok juga merupakan kumpulan dari kedinamisan opini publik yang mencangkup norma dan nilai tertentu. Sedangkan yang ketiga ialah birokrasi. Birokrasi bisa juga dikatakan sebagai struktur pemerintahan dan proses kerjanya serta pengaruhnya terhadap kebijakan yang diambil. Urusan birokrasi ialah urusan pemerintah negara, dalam hal ini negaralah yang menjadi kunci utama dalam semua proses pembuatan kebijakan. Dalam birokrasi, pemerintah didampingi oleh institusi - institusi lain seperti halnya lembaga militer, lembaga social, lembaga ekonomi dan institusi lainnya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi ialah interaksi yang terjadi antara institusi yang berkenan. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik antara birokrasi dan kebijakan yang mana birokrasi mempengaruhi proses pengambilan dan pembuatan kebijakan serta kebijakan itu sendiri akan bersifat melindungi pertumbuhan birokrasi dalam menanamkan pengaruhnya ke dalam proses pembuatan kebijakan.
Yang terakhir adalah system nasional yang mana hal ini mencangkup banyak aspek dari atribut nasional seperti luas wilayah, kondisi letak geografis, iklim, sumber daya, demografi dan juga peran dan posisi nasional di kancah internasional. Letak geografis dan kondisinya dalam satu negara sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang akan dibuat. Seperti contoh, negara yang luas wilayahnya kecil akan lebih mudah dalam melakukan pertahanan daripada wilayah yang luas. Selain itu wilayah negara yang bersifat kepulauan otomatis wajib memperkuat angkatan lautnya daripada negara yang wilayah lautnya sempit. Sedangkan negara yang memiliki sumber daya yang kaya akan cenderung lebih melakukan ekspor daripada negara dengan sumber daya yang rendah. Selain itu faktor ideologi negara juga termasuk dalam cangkupan atribut nasional dalam sistem nasional juga akan mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat. Seperti halnya Cina pada masa perang dingin. Cina yang berideologi komunis cenderung lebih berada di pihak Rusia dan kebijakan yang diambil juga akan mirip dengan apa yang dilakukan Rusia daripada AS yang berideologi liberal
Selain determinan dalam negeri seperti yang dijelaskan diatas, ada juga determinan luar negeri yang juga berpengaruh besar dalam proses pengambilan kebijakan. Determinan luar negeri, menurut apa yang ditulis oleh Lentner dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem internasional atau global dan situasi internasional. Sistem internasional misalnya, terdiri dari faktor – factor eksternal negara yang akhirnya menjadi struktur dalam lingkup internasional. Sebagai contoh sistem internasional pada masa perang dingin yang bersifat bipolar. Pada sistem ini negara- negara masih menganut konsep Balance of Power yang mana setiap negara akan berusaha mengimbangi dua superpower pada waktu itu yaitu Uni Soviet dan Amerika. Sistem internasional atau system global ini juga meliputi semua kebijakan yang negara lain keluarkan karena kebijakan negara lain pun dapat memberikan stimulus terhadap politik negara yang dipelajari dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan yang akan dibuat oleh negara. Para teoritisi hubungan internasional berasumsi bahwa kebijakan dan juga politik luar negeri adalah sekumpulan respon terhadap tantangan eksternal. Mereka memandang hal ini sebagai alat untuk mencapai tujuan negara yang didefinisikan secara rasional dan bertindak melalui pemerintahannya. Tujuan tersebut berkaitan dengan kepentingan nasional suatu negara di mana kondisi umum mutlak dipelihara (perdamaian dan stabilitas internasional).
Situasi internasional pun sangat erat kaitannya dengan sistem internasional. Sistem internasional member pengaruh cukup signifikan terhadap situasi internasional yang sedang terjadi. Situasi internasional sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian yang bersifat tiba-tiba (yang biasanya merupakan isu-isu baru) yang terjadi dalam sistem internasional. Situasi internasional berubah begitu cepat dan sangat menjadi pertimbangan bagi tiap –tiap pembuat keputusan atau kebijakan dalam negara. Ini dimaksudkan agar kebijakan yang dibuat masih bersifat kompatibel dengan isu yang sedang berkembang pada masa itu. Ambil saja contoh isu War on Terrorism yang memunculkan doktrin Bush pada awal decade 2000an yang lalu. Pernyataan Bush “ Either you are with us or you are with terrorist” membuat setiap negara berpikir dua kali untuk merumuskan kebijakan pertahanannya. Amerika terkesan tidak main-main dalam upaya pemberantasan teroris dan menuntut tiap negara untuk ikut bersamanya jika tidak ingin dianggap berada di pihak teroris. Sehingga otomatis kebijakan negara-negara mayoritas berpihak pada AS karena situasi ini.
Sebagai negara yang berkembang, kebijakan Indonesia memang banyak dipengaruhi kebijakan yang dibuat oleh AS. Akhir-akhir ini Indonesia terkesan lebih dekat dengan AS karena adanya aspek neoliberal dalam beberapa sektor di Indonesia meski intensitasnya masih dibatasi oleh Pancasila dan UUD 1945. Namun apakah sebaliknya, kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia memiliki pengaruh terhadap AS? Secara teoretis maka jawabannya adalah iya mengingat bahwa kebijakan luar negeri merupakan bentuk aksi dan reaksi. Akan tetapi secara fakta memang tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan yang diambil oleh Indonesia tidak selalu membawa signifikansi besar ke dalam politik AS dan ini juga berlaku pada negara yang bisa dikatakan powerless lain. Apapun yang terjadi, yang jelas hubungan antara Indonesia dan AS akan berjalan secara mutualisme apabila ada signifikansi maksimal antara individu, kelompok dan juga birokrasi negara terhadap sistem global dalam mendukung implementasi kebijakan Indonesia dengan AS. Tidak hanya dengan AS, ini juga berlaku untuk hubungan dengan negara lainnya.

Referensi :
Couloumbis, Theodore dan James H.Wolfe. 1999.Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power. Jakarta : Putra A Bardin.
Perwita, Anak A.B . 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rosenau, James.1976. World Politics: An Introduction. New York : The Free Press.

Jumat, 07 Mei 2010

@Copyright by Varian

Perbandingan Strategi Deterrence, Military Defence and Compellence


Sejauh ini konsep mengenai deterrence, pertahanan militer dan Compellence hampir selalu dikaitkan dengan konsep balance of power. Ketiga konsep ijni memang pertama muncul pada era perang dingin untuk menggambarkan upaya - upaya persaingan yang dilakukan oleh kedua negara yang berkuasa pada saat itu. Strategi-strategi perang yang pada waktu itu digunakan terutama pada perang Vietnam dianggap tidak lagi efisien dalam segi ekonomis. Biaya perang yang terlalu besar membuat kesadaran akan pemikiran baru yang dapat lebih mengefisiensikan cost yang akan dikeluarkan. Dalam hal ini, AS yang pada waktu itu kalah perang Vietnam paling merasakan betapa banyak biaya yang harus dikeluarkan dalam strategi perang semacam itu. Oleh karena itu ini menjadi satu sebab mengapa pada akhirnya AS mencoba untuk mengembangkan nuklir dan ideologinya untuk “memaksa” pihak lain (dalam kasus ini ialah Uni Soviet) untuk tidak menyerang mereka. Dengan kata lain strategi ini lebih merupakan suatu ancaman dengan meningkatkan power melalui peningkatan efek teror. Strategi inilah yang dikenal dengan strategi deterrence.

Strategi ancaman seperti ini dilakukan karena dirasa lebih efisien daripada perang konvensional. Perang konvensional mengharuskan pihak-pihak yang berperang mengeluarkan dana yang lebih banyak untuk membeli senjata-senjata dan keperluan perang lain. Karena dirasa lebih efektif, strategi ini kemudian banyak dipakai oleh negara-negara lain untuk menunjukkan keunggulannya atas negara lain. Dalam konteks perang dingin, strategi deterrence ini awalnya digunakan oleh AS untuk meneror kekuatan Soviet dan kemudian digunakan juga oleh Soviet untuk menyaingi teror yang dilakukan AS. Perilaku deterrence seperti ini pun masih sering dilakukan negara-negara Deterrence sendiri sebetulnya baru dikenalkan oleh B.Brodic setelah pengeboman yang dilakukan AS atas Jepang di kepulauan Hiroshima dan Nagasaki.

Strategi deterrence dalam perang dingin dapat dianalisa melalui apa yang terjadi pada tahun 1950an di Amerika. Pada waktu itu Amerika dibawah pemerintahan presiden Eisenhower mencoba untuk menggunakan nuklir untuk selain mencegah serangan Soviet yang akan mengancam stabilitas hegemoni AS juga digunakan sebagai salah satu upaya untuk mencegah Soviet menyebarkan pengaruh ideologinya ke negara-negara aliansi. Selain itu pada masa ini juga AS melakukan suatu pola targetting yang mana AS meletakkan senjata-senjata andalannya dan dihadapkan ke arah pangkalan militer yang ada di Soviet. Sehingga apabila dihubungkan dengan upaya pertahanan, deterrence ialah salah satu strategi untuk memproteksi atau mencegah serangan yang akan terjadi.

Kemunculan dan sebab kemunculan dari konsep deterrence ini memang seringkali dikaitkan dengan strategi nuklir karena pada awal mula kemunculannya, cara ini digunakan memang hanya untuk membendung serangan nuklir AS oleh Soviet dan sebaliknya. Asumsi dasarnya ialah pastinya tidak ada satu negara pun yang mau diserang dengan nuklir negara lain oleh karena itu negara lain yang juga memiliki nuklir tidak akan pernah menyerang negara pemilik nuklir lainnya atas dasar efek teror yang muncul saat ancaman nuklir diserukan. Strategi deterrence sendiri sejauh fakta yang dapat dianalisa memang hanya terjadi ketika dua atau lebih negara memiliki kekuatan yang hampir sama atau seimbang seperti masa perang dingin (AS dan Soviet) dan pada masa kini seperti Iran yang men-deterrence AS dengan kekuatan nuklir barunya yang sempat membuat AS merasa terancam.

Menurut salah satu literaturnya, John Lodal berargumen bahwa konsep deterrence ini muncul karena adanya tingkat kekuatan dari nuklir yang sangat tinggi hingga tak satupun negara yang mampu untuk membendungnya. Meskipun konsep ini sudah dilakukan jauh sebelum konteks nuklir muncul dan sempat sedikit dilupakan, ketika isu nuklir pada masa perang dingin mencuat, tepatnya saat terjadi krisis misil Kuba, seakan-akan AS dan Soviet mulai membuka mata lagi untuk “membangunkan” konsep ini lagi.

Ketika membicarakan tentang apa itu deterrence, menurut apa yang ditulis oleh Karen A Mingst, menyatakan bahwa potensi ancaman yang diberikan pada negara yang melakukan upaya deterrence itu lebih represif dan sering kali upaya militer dilakukan (Karen, A. Mingst, 2009). berbeda dengan konsep compellence yang bersifat lebih halus daripada deterrence. Bersifat lebih halus karena compellence lebih kepada ancaman yang besifat menyeluruh dan seringkali tidak menggunakan military atau weaponary force. Sehingga strategi ini tidak berpotensi untuk menghasilkan perang. Perbedaan lain bisa dilihat dari tujuan masing-masing strategi. Jika deterrence merupakan suatu bentuk ancaman yang dilakukan oleh satu aktor dengan tujuan untuk mencegah aktor lain melakukan sesuatu tindakan yang dapat dinilai mengancam negara. Disisi lain, compellence adalah ancaman kekuatan yang dilakukan oleh aktor untuk membatalkan sesuatu yang sudah dilakukan atau memulai sesuatu tindakan. Menurut Patrick Morgan, compellence ialah suatu tekanan suatu tekanan atau ancaman untuk menggerakkan pihak lain agar menghentikan suatu tindakannya yang telah dilakukan atau melakukan suatu tindakan yang belum dilakukan (Morgan 2003). Contoh kasus compellence ialah dimana saat AS melakukan embargo kepada Kuba pada era perang dingin yang mana AS ialah pemasok terbesar perekonomian Kuba saat itu. Disini AS berkeinginan agar Kuba membatalkan niatnya untuk bersekutu dengan Soviet. Contoh lain ialah ketika Indonesia mengancam Malaysia yang mengklaim pulau Ambalat sebagai milik Malaysia. Saat itu Indonesia mencoba melakukan compellence dengan mengancam Malaysia untuk membawa masalah ini ke dalam hukum internasional dengan tujuan agar Malaysia membatalkan klaimnya ini.

Pada dasarnya memang konsep deterrence dan compellence ialah konsep yang lahir pada masa perang dingin dan pada puncaknya digunakan pada masa-masa krisis misil Kuba berlangsung. Pada masa itu AS merasa memiliki senjata terkuat di dunia dan memaksa negara lain agar tunduk dibawahnya termasuk pada saat itu Uni Soviet. Dua strategi ini, deterrence dan compellence dapat dikatakan merupakan bagian dari pertahanan yang dilakukan suatu negara atas faktor eksternal dan internal yang sekiranya dapat membahayakan stabilitas negara. Dua strategi ini merupakan strategi pertahanan yang bersifat preventif.

Sering terjadi ambiguitas antara penerapan deterrence dan compellence. Terutama saat kedua terminologi ini digunakan secara bersamaan. Saat sebuah negara merasa terancam seringkali kedua konsep ini digunakan secara bersamaan. Seperti halnya AS pada masa krisis Kuba yang terancam dengan nuklir Soviet di Kuba. AS men-deterrence Soviet dengan membuat misil-misil AS diarahkan tepat pada basis militer Soviet. Namun Soviet yang balik mengancam AS membuat AS melakukan compellence kepada Soviet yang pada akhirnya dipatuhi Soviet dan mengakhiri konflik ini (Compliance). Menjadi sebuah analisis dan kesimpulan tersendiri yaitu bahwa deterrence, defense dan compellence, ketiganya ialah upaya suatu negara dalam menciptakan suatu stabilitas dan perdamaian dalam negara terkait dengan balance of power seperti yang telah dijelaskan diatas yang terjadi mulai masa perang dingin. Pada masa ini konflik nuklir yang terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadi asumsi dasar munculnya ketiga upaya tersebut.


Sumber :

Baylis, John dan Smith, Steve. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press.

Dougherty, James & Robert Pfalzgraff. 1996. Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Study. New York: Longman.

Kegley, J.R Charles & Eugene Wittkopft. 1996. World Politics Trend and Transformation (6th ed). St. Martin Press: New York.

Karen, A. Mingst. 2009. The Essentials of International Relations. London. Norton, inc.

Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace.

Roy, S.L. 1995. Diplomasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

The Rise of Bretton Woods

copyright by: Varian n Qisthi

Sistem Bretton Woods lahir karena kebutuhan adanya sistem moneter yang handal untuk mengatasi dampak berakhirnya Perang Dunia II. Berdasarkan pengalaman Perang Dunia I, sesudah perang adalah masa yang sangat berat bagi perekonomian dunia. Kebangkitan perekonomian negara-negara yang terlibat perang, seperti peningkatan produksi bahan makanan dan industri, akan membuat produksi global meningkat cepat, jauh melebihi kebutuhan. Keadaan inilah yang melahirkan terjadinya proteksi dan devaluasi yang bergantian terus-menerus (competitive devaluation). Kebijakan suatu negara pada akhirnya hanyalah ingin melindungi negaranya sendiri dan tidak memedulikan dampaknya bagi perekonomian negara lain.

Berdasarkan pengalaman tersebut, sebelum Perang Dunia II selesai, sebanyak 44 negara berkumpul di Desa Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS), tepatnya pada 1-22 Juni 1944. Pertemuan panjang tersebut, yang antara lain dihadiri John Maynard Keynes dari Inggris dan Harry Dexter White dari AS, akhirnya mengambil putusan untuk membangun Sistem Bretton Woods, di mana pendirian dana moneter internasionl(International Monetary Fund/ IMF) menjadi salah satu pilarnya. Sistem moneter baru tersebut mendasarkan diri pada sistem nilai tukar tetap terhadap dolar AS, sedangkan dolar AS dikaitkan dengan emas, di mana setiap 1 ons emas (sekira 30 gram) ditetapkan harganya kira-kira sebesar USD35

Dengan cara ini, nilai tukar antarmata uang di luar dolar AS juga menjadi tetap.Konferensi tersebut juga melahirkan Bank Dunia dalam bentuk bank dunia (IBRD) serta organisasi perdagangan dunia (semula dirancang dalam bentuk International Trade Organization), yang kemudian muncul dalam bentuk General Agreement in Tariffs and Trades (GATT) pada 1947.


Pada sekitar 25 tahun masa penerapan sistem Bretton Woods, sistem ini telah mengatur hubungan ekonomi secara internasional atas para negara-negara kapitalis sejak perang dunia kedua. Negara-negara industri juga telah menjauh darii sifat-sifat ekonomi nasionalis dan konflik. Namun hal ini tidak berarti mereka kembali pada laissez-faire seperti pada era sebelum PD 1 (Frieden,2006: hlm 300). Ini dilakukan dengan suatu prasangka atau pemikiran bahwa masalah-masalah perekonomian seperti ketenagakerjaan dan pertanian tidak lagi sebesar dulu. Kesuksesan perekonomian secara internasional dinilai masih lebih besar daripada masalah – masalah pengangguran dan kesejahteraan petani.


Sekitar tahun 1950-1960an, negara-negara industri di barat membuat suatu kombinasi yang membuka jalan bagi ekonomi internasional untuk bersifat terbuka dan mengontrol investasi jangka pendek, dan perlindungan terhadap hasil dan upaya agrikultur. Kombinasi yang juga menjadi jalan tengah ini menjadi suatu tatanan baru dalam perekonomian dalam negara seperti tatanan kombinasi antara internasionalisme dan otonomi nasional, pasar dengan sosial, kemakmuran denganstabilitas dan demokrasi politik. Tatanan baru ini tampak sebagai percampuran antara kebijakan bisnis dan campur tangan pemerintah dalam ekonomi. Percampuran ini membuat suatu hasil yang positif seperti pasar yang lebih aktif dan pemerintah yang agresif, bisnis yang besar dan buruh yang terorganisir dan konservatif dan sosialis (Frieden,2006: hlm 300). Tatanan ini membuat suatu lompatan keberhasilan besar karena adanya perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan juga membuat stabilitas ketahanan ekonomi yang paling kuat dalam sejarah modern. Dapat dikatakan bahwa Bretton Woods membawa suatu kesuksesan besar dalam dunia ekonomi politik internasional pada masa 30 tahun keberadaannya.


Selama masa keemasannya, sistem Bretton Woods ini membwa serta perdagangan bebas yang relatif, nilai-nilai kestabilan, dan tingginya level investasi internasional. Liberalisasi terhadap bentuk perdagangan dunia adalah suatu pencapaian pertama dan mungkin yang terpenting dari sistem Bretton Woods. Liberalisasi ini tentu saja tidak lepas dari tiga pilar utama dalam sistem. Yaitu IMF, ITO, dan GATT. Kesuksesan sistem ini dalam aspek trade salah satunya karena adanya reduksi atas pajak produksi yang selama beberapa tahun sebelumnya menjadi semacam tameng atas liberalisasi perdagangan (trade). Reduksi atas pajak ini dibahas dalam tiap pertemuan pada forum GATT. GATT berbeda dari institusi moneter yang lahir dari Bretton Woods lainnya seperti IMF dan ITO. GATT bukanlah organisasi independen tapi lebih kepada sebuah forum dimana negara-negara bertemu (Frieden,2006:hlm 288). Karena ini pada sekitar tahun 1970an perdagangan internasional menjadi tiga kali lebih penting daripada saat era sebelum perang dunia pertama. Tingkat ekspor dan impor tiap negara pun meningkat cukup signifikan.

Kesuksesan sistem ini tidak hanya berhenti pada level perdagangan internasional, namun juga sukses pada relasi moneter. Mengapa demikian? Ini disebabkan oleh tatanan moneter yang terkandun dalam sistem ini sendiri. Sistem Bretton Woods, khususnya dalam hal tatanan moneternya membuka peluang dan bahkan menyediakan kesempatan bagi pemerintah untuk melarang pergerakan modal jangka pendek ke luar negeri (Frieden, 2006 :hlm 291). Selain itu juga sistem ini memang mengijinkan setiap negara untuk mengoperasikan sistem ini ke dalam negaranya dengan batas-batas kondisi tiap negara yang bersangkutan. Dengan ini maka tiap negara mampu mengendalikan inflasi dan terus menstimulasi ekonomi dalam negaranya.

Bretton Woods membuat relasi moneter semakin membaik daripada masa sebelumnya. Sebelum masa Bretton Woods, para investor seringkali melakukan spekulasi dalam melakukan investasi jangka pendek keluar negeri. Investasi keluar ini dilakukan apabila exchange rate dalam satu negara masih lebih kecil dari negara lain. Misalnya exchange rate di Itali pada tahun 1960an yang lebih kecil 1-2% dari Jerman membuat investor yang menanamkan investasinya di Itali menariknya kembali dan menanamnya di Jerman sambil menunggu exchange rate di Itali meningkat paling tidak selevel dengan Jerman. Masalah inilah yang mengakari pemikiran Keynes dan White untuk mencetuskan sistem Bretton Woods. Sehingga pemerintah dirasa perlu mengeluarkan kebijakan untuk mempersulit penanaman modal jangka pendek dari satu negara ke negara lain. Jadi sistem ini menganggap bahwa kontrol kapital, pajak dan larangan investasi keluar negeri ialah untuk tujuan spekulatif (Frieden, 2006: hlm 292).


Namun justru sebaliknya. Investasi jangka penjang pada masa Bretton Woods juga meningkat tajam. Hadirnya Bank Dunia banyak membantu negara-negara berkembang dengan meminjamkan dananya. Banyak investor-investor asing yang mulai berinvestasi jangka panjang melalui pembentukan MNC dan pengadaan FDI (Foreign Direct Investment). Investasi langsung seperti ini bukanlah hal yang baru. Pada era tahun 1930an pun telah ada instilah investasi langsung namun lebih terfokus pada pengadaan pertambangan dan agrikultural di negara-negara koloni. Pada masa 1960an tipikal ini sudah berubah. Target dari investasi asing ialah pebrik atau industri-industri di negara-negara berkembang.

Investasi jangka panjang ini memang berkembang sangat pesat ketika pasca perang dunia kedua bersamaan dengan cepatnya perkembangan ekonomi dan stabilitas moneter serta adanya GATT yang mereduksi pajak dan tarif. Hal ini dapat dilihat dari hadirnya beberapa MNC besar pada era tahun 1960an seperti industri otomotif Ford dan Fiat serta industri minuman seperti Coca Cola , dan industri peralatan rumah tangga lain seperti elektronik, lemari es, dsb yang bisa dikatakan menjadi “world major economies hingga saat ini. Beberapa MNC tidak terbuka terhadap gangguan yang bersifat politis dan budaya namun beberapa yang lain mulai menghadirkan kesempatan untuk memperkaya finansial dan teknologi. Apapun kepentingan yang ada di dalamnya, investasi internasional seperti internasional trade dan integrasi moneter telah berhasil menyandarkan pada dunia industrialisasi bersama lebih ketat daripada yang terjadi sejak 1914 (Frieden, 2006: hlm 296).


Referensi

Frieden, Jeffrey A. 2006. The Bretton Woods System in Action dalam Global Capitalism : Its Fall and Rise in the Twentieth Century. New York : W.W Norton & Co.Inc., pp 278-300.

Griffiths, Martin and Terry O'Callaghan. 2002. Bretton Woods dalam International Relation : The Key Concepts. New York : Routledge.

http://www.brettonwoodsproject.org/background/index.shtml (diakses pada 8 Mei 2010 pkl 11.05 WIB)