Greetings

LET'S GET CRAZY WITH THIS BLOG



Kamis, 17 Juni 2010

ANALISA DISKURSUS DAN KRITIK TERHADAP WTO

DISKURSUS WTO
Dalam menjelaskan mengenai apa itu WTO, apa perannya dalam perdagangan dunia dan bagaimana hubungannya dengan peran masyarakat dan media, dalam artikel ini WTO memberikan 10 klaim utama yang mengindikasikan bahwa perannya dapat memebri keuntungan pada sistem perdagangan dunia
1. Berkontribusi pada perdamaian internasional dengan asumsi bahwa dengan adanya perdagangan yang lebih lancer, secara perlahan kehidupan masyarakat akan lebih sejahtera dan ketika masyarakat sejahtera maka kemungkinan hadirnya konflik dapat tereduksi
2. Adanya penanganan terhadap perselisihan secara konstruktif yang dapat dibuktikan sejak tahun 1995 ketika ada beberapa kasus perselisihan yang dibawa ke WTO maka kasus akan berakhir dengan harmonis dan diselesaikan secara lebih konstruktif sehingga tidak menimbulkan konflik yang lebih serius
3. Sistem lebih berbasis pada atuuran daripada kekuatan. Ini dimaksudkan bahwa setiap kebijakan yang diambil WTO selalu melalui proeses consensus dengan persetujuan yang disetujui oleh setiap anggota dan dapat diaplikasikan di negara kaya maupun miskin sehingga mampu meningkatkan bargaining position dari negara tersebut.
4. Dengan adanya free trade maka biaya hidup lebih murah. WTO mempertipis adanya barrier dalam sistem ekonomi global dengan cara mengadakan pertemuan perjanjian yang mambahas mengenai reduksi biaya produksi yang berimbas pada murahnya harga barang jadi dan membuat biaya hidup semakin ringan.
5. Adanya banyak pilihan dan jarak kualitas yang dapat dipilih oleh pelanggan dan tentu saja meningkatkan daya saing agar barang-barang local tidak kalah bersaing dengan produk impor
6. Menambah pendapatan melalui perdagangan karena adnya barrier yang menipis sehingga perdagangan menjadi lebih mudah dan lebih ramai.
7. Menstimulus perkembangan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Walaupun pada kenyataannya dengan adanya ekspansi industry pengangguran masih banyak, dengan kecerdikan setiap negara untuk memanfaatkan kesempatan bagi industrinya maka penyesuaian akan lebih mudah dilakuakan dan tentgu saja akan lebih meningkatkan daya saing ekonomi.
8. Membuat sistem ekonomi menjadi lebih efisien karena dibawah pengaturan WTO, pemerintah akan memberlakukan suku bungan yang sama untuk impor dari semua negara dan semua produk baik itu impor ataupun local. Sehingga membuat lebih mudah bagi perusahaan untuk mencari komponen baru dan tentu saja lebih efisien.
9. Sistem melindungi pemerintah dari kepentingan yang sempit. Dengan adanya WTO maka negara akan berlaku lebih semimbang dalam memandang dan membuat kebijakan perdagangan dan melindungi diri dari para narrow interest group dengan memfokuskan pada perdagangan yang menampung kepentingan seluruh subjek ekonomi.
10. Sistem memicu terbentuknya good governance dibawah aturan WTO karena aturan yang dibuat WTO menuntut stiap negara untuk terus patuh dan bersikap disiplin sehingga meningkatkan kondisi bisnis yang lebih jelas dan pasti.
(WTO n.d;10 benefits)


Kritik Terhadap WTO
Pada intinya, kritik terhadap WTO dimulai dari WTO itu sendiri sebagai institusi yang mengatur kondisi oerdagangan yang mengaku sebagai tempat yang netra DImana negara dapat berunding untuk membuat suatu perjanjian mengenai satu masalah prdagangan sehingga menghasilkan beberapa keuntungan seperti yang tertulis diatas. Dari sini jelas sekali bahwa WTO anti proteksionisme dan sangat mendukung liberasi pasar. Disini dikatakn oleh WTO bahwa liberasi fair trade adalah tujuan utamanya yang berjalan bersamaan dengan non diskriminasi dan stabilisasipasar. Dengan kata lain, di artikel ini mengkritik bahwa interpretasi kata fair hanya meliputi kondisi-kondisi yang terbatas dimana free trade dilakukan. Ini berarti tidak mlingkupi secara global karena meski telah bersifat global, free trade masih belum banyak dilakukan dengan baik oleh negara. Hanya negara yang mengikuti seperangkat aturan WTO dengan baik yang dapat Berjaya sementara bisa saja hal ini disisi lain bersifat harming bagi yang lain.
Kritik lain adalah meskipun WTO adalah organisasi global yang tidak terpilih secara politis masih harus mencari pengakuan masyarakat luas. Dalam klaim nya yang mengatakan bahwa “kita semua adalah konsumen”, dan bahwa kata “kita” disini diuntungkan dari pasar bebas melalui pendapatan personal yang tinggi, harga yang murah, dan biaya hidup yang lebih mudah dan ringan. Pandangan seperti ini dinilai oleh penulis sebagai pendangan mengenai masyarakat sebagai knsumen daripada sebagai pekerja atau produsen, demokrasi dengan konsumsi daripada adanya klaim bahwapekerja adalah sumber kebebasan-sesuatu yang baik sebagai tambahan populist-consumerist ke seluruh diskursus neo liberal (Peet,2003.hlm 163). Atas dasar klaim diatas maka Peet disini membuat satu generalisasi dengan menyebut bahwa organisasi seperti WTO tidak mempraktekkan netralitas birokrasi dan organisasi. Sebagai satu organisasi, WTO memiliki satu komitmen sebagai single, well-defined, and elaborated, carefully defended, ideological position : perdagangan bebas “cukup diadili” dengan keuntungan individu sebagai konsumen. Dalam perkembangannya, WTO menjadi organisasi dengan misi-misi yang lebih bersfiat ideologis (Peet,2003.hlm 163).
Poin kritik lainnya adalah apakah memang perdagangan bebas akan membawa ke arah ekonomi yang lebih berkembang dan pendapatan tinggi bagi negara miskin dan kenapa negara yang melakukan perdagangan yang lebih banyak malah ada yang kekurangan pendapatan. Memang bahwa volume perdagangan di negara berkembang telah meningkat lebih cepat dari rata-rata. Negara berkembang saat ini memiliki manufaktur dalam volume perdagangan yang telah meningkat pesat. Namun peningkatan ini terutama dalam hal ekspor negara, ternyata masih belum mampu menambahkan secara signifikan terhadap pendapatan negara. mengapa demikian? Mengapa seakan negara berkembang tidak mendapatkan keuntungan dari hal ini? karena kenyataannya menurut laporan dari UNCTAD tahun 2002 ternyata masih banyak dari negara berkembang yang masih belum mampu melakuakn shift produksi keluar dari komoditas utama seperti padi, gandum,dan sumber-sumber alam lainnya. Padahal pasar bagi produk-produk ini bersifat stagnan dan kecenderungan harga menurun sejak dua decade terakhir terkecuali minyak bumi. Negara yang mampu melakukan shifting dari komoditas seperti diatas menjadi komoditas manufaktur yang lebih focus pada basis sumber daya, intensivitas buruh, yang mana secara umum lebih dinamis akan menjadi negara yang mampu mengembangkan ekonominya. Dengan kata lain argumen dasar yang dibuat oleh WTO atas nama perdagangan bebas masih tidak terbukti jika diterapkan di negara miskin dan berkembang (Peet,2003.hlm 164).
referensi
Peet, Richard.2003. "The World Trade Organization" dalam Unholy Trinity : The IMF, World Bank and WTO. London : Zed Books. hlm 159-165
REVIEW PEMBENTUKAN KELAS GLOBAL DAN KEBANGKITAN KELAS KAPITALIS TRANSNASIONAL

Transnasional class formation adalah pusat dari globalisasi yang didalamnya merupakan suatu proses yang selalu menuju kearah perubahan struktur kelas sosial dan pembentukan kelas ini melibatkan munculnya kelas kapitalis transnasional (TCC). Kelas sosial yang dimaksud adalah kategori dasar dalam suatu masyarakat, seperti dalam pemikiran Marx, ada 2 golongan dalam kelas sosial dalam suatu masyarakat, yaitu kelas borjuis dan proletar atau budak dan pemilik tanah. Walaupun dalam hal ini ada perbedaan kelas, kedua golongan kelas ini saling membutuhkan, dimana Kelas Borjuis yang identik dengan kaum kapitalis hanya mungkin ada ketika ada hubungan dengan kaum pekerja (proletar). Tidak ada yang namanya pemilik tanah tanpa budak, atau kapitalis tanpa pekerja. Di dalam suatu kelas ada sub-sub kelas yang disebut fraksi-fraksi. Fraksi-fraksi ini bekerja sesuai dengan apa yang menjadi bagiannya dalam memperoleh tujuan. Seperti halnya kelas kapitalis, Robinson membagi kapitalis menjadi memiliki 3 fraksi seperti kapitalis financial, kapitalis industry, dan kapitalis komersial.[1] Seperti halnya kapitalis financial yang mengurusi masalah system keuangan seperti banker, Kapitalis industry mengurusi pengorganisasian perusahaan dan Kapitalis komersial yang memberi control atas perdagangan dan jalur distribusi.
Ada 3 dimensi dalam penekanan teori Transnasional class formation, yaitu produksi transnasional dan Integrasi capital; fraksi kelas kapitalis nasional dan transnasional; serta konsep hegemoni Gramsci dan sejarah blok untuk menjelaskan bagaimana kelompok kelas itu terbentuk.[2] Bentukan ini karena adanya ekspansi internasional pada sistem kapitalis yang memunculkan kelas kapitalis internasional. Kelas kapitalis internasional muncul ketika kepentingan ekonomi dunia sebagai suatu kebutuhan terpenting dan ada kecenderungan yang kuat terhadap kelas kapitalis yang terus meningkat dalam pertumbuhan pasar dunia dimasa yang akan datang (Hymer, 1979, 262).
Kelas tidak dibangun dalam institusi, politik, atau budaya. Marx mengartikan kelas sebagai posisi kolektif dalam produksi dan jalur produksi. Pembentukan kelas dalam produksi berlaku pada hubungan antara fraksi kepentingan kutub antagonis, yaitu borjuis dan proletar. Disini Marx juga menggagaskan konsep kelas menjadi class-in-itself dan class-for-itself.[3] Class-in-itself adalah suatu kelompok yang anggotanya secara objektif membagi posisi yang sama dalam struktur ekonomi masyarakat independen sebagai upaya untuk mewaspadai kondisi yang akan terjadi . sedangkan class-for-itself adalah kelompok kelas yang anggotanya menyadari adanya kelompok khusus dengan kepentingan bersama dan bersama-sama saling mencari kepentingan tersebut. Dan class-for-itself identik dengan proletar. Sedangkan class-in-itself identik dengan kaum eksis atau borjuis. Kelas difokuskan pada kumpulan materi dan hubungan produksi yang melibatkan proses sosial dan perkembangan hubungan material tersebut. Kelas dalam borjuis yang didalamnya terdapat proses transnasional merupakan kelompok yang individualis, dimana kelompok ini adalah dominan yang heterogen dan kepentingan mereka bertabrakan. Artinya kelompok ini berada dalam kondisi yang sama, kontradiksi yang sama, kebutuhan kepentingan yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Dan ini yang menimbulkan konflik dan perpecahan individu dari kelas hanya berlangsung jika ada suatu perlawanan dari kelas lain, kecuali mereka adalah musuh antara kelas yang satu dengan yang lain sebagai pesaing ( Marx and Engels, 1979; 82)
Kelas kapitalis transnasional berkaitan dengan kapitalisme yang telah mengglobal selama paruh waktu abad ke-20. kapitalisme menyebabkan kelumpuhan total kawasan periferal melalui dua cara, yaitu ekspansi kolonialisme di era penjajahan dan ekspansi globalisme di era modernisasi. Kapitalisme sendiri berhubungan dengan kapitalis nasional suatu negara dan hubungan dengan negara lain, transnasional bahkan globalisasi. Dengan adanya hubungan tersebut, penguasaan kelas terjadi oleh kelas borjuis yangmana teori kelas borjuis internasional ini cenderung dikonseptualisasikan dalam istilah negara-sentris yang berfokus pada para penguasa, pelaku bisnis, dan pengeksploitasi kapitalis kepada para pekerja dan petani di negara-negara miskin. Sedangkan kelas proletar yang tidak punya alat produksi, yang kerjanya hanya melayani kapitalis global. Kelas kapitalis transnasional memainkan peran penting dalam globalisasi kapitalis, dimana ada 4 fraksi utama dalam analisis perumusan TCC tersebut, yaitu (1) orang-orang yang memiliki dan mengendalikan perusahaan-perusahaan transnasional besar (fraksi perusahaan); (2) globalisasi birokrat dan politisi (fraksi perusahaan); (3) para profesional yang mengglobal (fraksi teknis); dan (4) pedagang dan media/ kelompok elit konsumeris (fraksi konsumtif).
Dengan semakin berkembangnya kerjasama transnasional dan para elit politik, fraksionasi kelas semakin muncul ke permukaan bersamaan dengan adanya kekuatan axis nasional dan transnasional. Dalam kurun beberapa tahun terakhir ini tiap negara di dunia telah melakukan proses-proses transnasionalisasi fraksi-fraksi local. Fraksi ini terdiri dari beberapa grup yang dominan terhadap kapitalisme local. Kepentingan dari fraksi nasional berada pada tingkat akumulasi nasional yang mana ini termasuk dalam keseluruhan susunan atas regulasi nasional dan mekanisme proteksionis.[4] Sementara itu,sebaliknya, fraksi-fraksi yang telah bersifat transnasional lebih mempertimbangkan dan menganggap kepentingannya harus dicari melalui ekspansi ekonomi global yang didukung oleh liberalisasi pasar. Ini berbanding terbalik dengan fraksi nasional yang belum ter-transnasionalisasi yang lebih memilih sifat lebih defensive dalam mendapatkan kepentingannya.
Di setiap wilayah di dunia, sejak 20an tahun terakhir ini berbagai aspek seperti ekonomi, dan politik telah mengalami proses transnasionalisasi dan terintegrasi di bawah tuntunan dari beberapa elit baru di dunia.[5] Elit yang dimaksudkan disini ialah beberapa blok transnasional yang muncul sejak tahun 1980an yang kemudian bisa dikatakan menjadi salah satu bentuk hegemoni di dalam mayoritas negara dan berusaha untuk melakukan bentuk transformasi dengan menggunakan rasionalitas state apparatus untuk menerjang arus globalisasi dan bersatu dalam suatu bentuk integrasi ekonomi. Beberapa proyek elit ekonomi politik yang berskala besar dan berdasarkan liberalisasi pasar yang mengglobal ialah NAFTA, APEC, WTO, dsb.
Menurut Robinson, dalam prosesnya, usaha transnasionalisasi terhadap aspek-aspek negara seperti ekonomi dan politik kedalam integrasi semacam ini akan memunculkan kemungkinan adanya pergesekkan antara apa itu yang disebut nation-state dengan fraksi-fraksi internasional. Mengapa bisa demikian? Ini tidak lain disebabkan oleh adanya bentuk-bentuk polarisasi dan konflik yang diakibatkan oleh penetrasi ekonomi global. Polarisasi yang dimaksud ialah adanya “pengambil-alihan” kekuasaan oleh para tokoh-tokoh fraksi transnasional demi mengejar arus globalisasi. Dicontohkan oleh Robinson dalam tulisannya yang berjudul Global Class Formation and the Rise of a Transnasional Capitalist Class, bahwa negara-negara yang telah di “caplok” oleh kelas-kelas dominan atau oleh fraksi tertentu dari kelas dominan dalam negara seperti Haiti, Afrika Selatan, Nikaragua, telah bisa dikatakan berhasil dalam menstrukturalisasi ulang kekuatan ekonomi globalnya. Sekali negara-negara itu ter”tangkap” oleh grup trasnnasional, dan negara menlakukan internalisasi atas struktur otoritas kapitalisme global maka dunia global itu sendiri akan terinkarnasi dalam struktur dan proses local sosialnya.[6]
Bentuk polarisasi atas fraksi transnasional dalam satu negara juga dapat dilihat dari pengaruhnya dalam hal dinamika dan ideology politik dalam satu negara. Seperti pada tahun 1990 di Mexico. Bentrok berdarah bahkan sampai terjadi di dalam PRI (Institutional Revolution Party). KOnflik ini merepresentasikan para elit negara (state bureaucrats) dengan para borjuis yang mana berkepentingan dalam Mexico’s Corporatist Import-subtitution-Indutrialization dalam versi kapitalis rasional. Disini para teknokrat adalah berasal dari fraksi transnasional yang mana terdiri dari beberapa borjuis meksiko yang mengambil alih partai dan negara melalui pemilu presiden tahun 1988 (Carlos Salinas). Salinas dalam masa pemerintahannya kemudian mencoba untuk merombak system kapitalis nasional yang masih bersifat konvensional dan kemudian memfasilitasi rakyat Meksiko ke dalam integrasi ekonomi global.
Bagaimana formasi TCC dalam negara dunia ketiga? Memang keutamaan ekonomi sebagai pusat dari pusaran globalisasi. Dan seharusnya terdapat mutualisme simbiosis antara globalisasi dan kapitalisme. Hubungan saling menguntungkan itu diwujudkan dalam bentuk kekuatan ekonomi global yang sering diistilahkan dengan Transnational Capitalist Class (TCC). Robinson menyatakan bahwa menyatakan bahwa kelas kapitalis transnasional ini merupakan sebab dan sekaligus produk proses-proses globalisasi. Tetapi dalam prakteknya, Kelas Kapitalis Transnasional adalah sarana-sarana melalu mana kelas kapitalis global ini memenuhi hasrat dan dahaga mereka akan modal. Untuk memperluas kebutuhan mereka akan ekpansi modal, Transnational Capitalist Class (TCC) selalu mencari ladang pertarungan baru di mana mereka bisa menguasa pasar global. Dan Dalam negara dunia ketiga, formasi kelas transnasionalnya adalah yang paling lemah dan kaum borjuis “nasional” masih mengontrol negara dan mengatur kinerja politik negara. Robinson menyatakan bahwa perusahaan besar dari negara dunia ketiga tidak dapat dibatasi oleh negara, wilayah, dan industri. Jadi adanya kekuasaan didalamnya. Perusahaan milik negara di negara dunia ketiga dikuasai oleh investor asing dan TCC. Akibatnya, secara ekonomi negara dunia ketiga akan sepenuhnya bergantung kepada kekuatan dan kemurahan hati kekuatan ekonomi global. Dengan adanya hal ini, membuktikan bagaimana globalisasi ekonomi telah secara destruktif menghancurkan kedaulatan sebuah negara dan mendikte pemerintah untuk mengambil kebijakan tertentu yang sejalan dengan kepentingan Kelas Kapitalis Transnasional dan bukan demi kemakmuran rakyat.
Keterlibatan TCC juga dikarenakan oleh hegemoni suatu negara yangmana para pekerja/orang-orang miskin yang tidak mau bergabung/bekerjasama dalam kerjasama transnasional tersebut, baik melalui mekanisme material atau ideologi, akan ditekan. Sebuah kondisi yang diperlukan dalam pencapaian hegemoni suatu kelas atau fraksi kelas adalah kebutuhan atas kepentingan ekonomi oleh kelompok sosial yang lebih universal dan hubungan antara kepentingan kelompok lain dengan kelas pemimpin atau fraksi dalam proses mengamankan partisipasi mereka dalam visi sosial tersebut terlihat secara konkret kepentingan finansial transnasional adalah pencapaian aktor hegemoni. Hal ini menyebabkan kelompok sosial akan menjadi sulit aman karena adanya sektor yang berbeda dari setiap kelas kapitalis transnasional dalam suatu negara dimana tindakan TCC ini biasanya bertentangan dengan masalah-masalah kapitalisme global yang berbasis pada pengalaman bersejarah sistem regional mereka. Sehingga strategi yang dilakukan dalam mengatasi kapitalisme yang mengglobal, adalah dengan konsep neoliberalisme. Dimana Neoliberalisme sebagai model restrukturisasi ekonomi, berusaha mencapai kondisi yang stabil di setiap negara dan wilayah dunia untuk mobilitas dan operasi modal yang bebas. Program ini bertujuan untuk menyelaraskan berbagai kebijakan fiskal, moneter, industri, dan komersial kebijakan antara beberapa negara, sebagai syarat agar kinerja modal transnasional bergerak secara bersamaan, dan melibatkan kepentingan nasional. Selain itu juga dimaksudkan untuk mencapai stabilitas ekonomi makro dan restrukturisasi yang meliputi: liberalisasi perdagangan dan keuangan, perekonomian yang terbuka ke pasar dunia, deregulasi, dan adanya sikap yang menghilangkan negara dari pengambilan keputusan ekonomi kecuali kegiatan yang privatisasi dalam pelayanan modal. Neoliberalisme akan menghasilkan kondisi yang menguntungkan secara keseluruhan untuk perubahan dalam sirkuit akumulasi modal global yang baru,serta memfasilitasi subordinasi dan integrasi dari setiap perekonomian nasional ke dalam ekonomi global.
Dari sekian penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Transnasional Class formation ialah merupakan titik tengah globalisasi yang mana nantinya akan melahirkan kelas-kelas kapitalisme baru yang bersifat transnasional. Atau dengan kata lain, Sebuah kelas kapitalis transnasional (TCC) ini muncul sebagai perwakilan borjuis kapitalis transnasional. Kemunculan system produksi global meredefinisi hubungan antara produksi, nation-state, dan struktur social menjadi lebih terintegrasi dalam satu bentuk global ekonomi. Namun tidak itu saja, peranan social dan politik akan juga sangat berpengaruh terhadap kemunculan formasi kelas-kelas baru dalam system global. Kemunculan ini tidak dipungkiri mampu menyebabkan satu bentuk permasalahan baru dalam proses internasionalisasinya. Dalam arti ketika negara dunia ketiga yang bisa dikatakan masih pada system nasionalis kapitalisnya dimasuki oleh beberapa unsur transnasional akan mengalami banyak pergeseran budaya dan social. Seperti apa yang terjadi di Meksiko dimana satu partai beranggotakan dua kubu yaitu nasionalist dan transnasionalis. Ketika kelas Transnasionalis ingin melakukan perubahan system maka tidak akan serta merta diterima begitu saja meski pada maksudnya ingin merubah system di dalam negara agar dapat terintegrasi ke dalam system liberalisasi perdangangan dan globalisasi.

Referensi :
Robinson, William. 2004. Global Class Formation and the rise of a Transnational Capitalis Class dalam A theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnasional World. Baltimore : the John Hopkins University Press, pp. 33-84
[1] Robinson, William. 2004. Global Class Formation and the rise of a Transnational Capitalis Class dalam A theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnasional World. Baltimore : the John Hopkins University Press. Pp. 37
[2] Ibid, pp. 35
[3] Robinson, William. 2004. Global Class Formation and the rise of a Transnational Capitalis Class dalam A theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnasional World. Baltimore : the John Hopkins University Press. Pp. 38
[4] Robinson, William. 2004. Global Class Formation and the rise of a Transnational Capitalis Class dalam A theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnasional World. Baltimore : the John Hopkins University Press. Pp. 49
[5] Ibid, pp.50
[6] Robinson, William. 2004. Global Class Formation and the rise of a Transnational Capitalis Class dalam A theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnasional World. Baltimore : the John Hopkins University Press. Pp. 50
Globalisasi dan Perkembangan di Selatan dalam Politik Ekonomi Internasional
Review Artikel Caroline Thomas

Pada review artikel kali ini akan lebih banyak menyoroti masalah developmentalisme sebagau suatu bentuk pertumbuhan ekonomi yang dituliskan oleh Caroline Thomas dalam artikel jurnalnya yang berjudul Globalization and Development in the South. Penulis akan sedikit menjelaskan mengenai developmnetalisme sebagai satu bentuk pertumbuhan ekonomi yang mana manjadi lebih sedrhana setelah era perang dunia kedu. Sejak masa itu, kondisi perekonomian dunia mulai lebih stabil dan mulai dapat recovery dari dampak kehancuran akibat perang dunia. Selain itu perekonomian dunia juga sudah mulai bangkit kembali setelah depresi besar terjadi. Negara-negara telah mampu memperbaiki kondisi ekonomi mereka baik local ataupun eksternal secara perlahan-lahan. Hal ini juga didukung oleh hadirnya rezim-rezim yang mengatur masalah ekonomi seperti GATT/IMF dan Bank Dunia yang memberikan regulasi mengenai kegiatan perekonomian global. Secara umum, pembangunan merupakan suatu upaya untuk memajukan struktur perekonomian yang di dasari tekad penurunan kemiskinan dan meningkatkan keadilan yang dengan kata lain bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mampu bergerak tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia sebagai subjeknya.
Pembangunan memang bukan hanya dalam taraf lingkup ekonomi saja, taraf sosial dan kesejateraan suatu negara juga menjadi suatu tolak ukur pertumbuhan pembangunan suatu negara dan tingkat taraf kehidupan penduduk di suatu negara tersebut, diukur oleh pendapatan per kapita penduduk. Disisi lain, perkembangan yang terjadi yang ikut mengiringi lahirnya developmentalisme adalah globalisasi. Bagi Hans Kohler (2002:1), globalisasi merupakan suatu proses yang terus terjadi dan terus meningkat dalam pemikiran, barang kebutuhan manusia, jasa, dan modal yang menuju integrasi ekonomi dan masyarakat.
Kembali pada focus artikel. Dalam artikel ini sering disebutkan kata “south”. Kata ini menuju pada satu klasifikasi wilayah selatan bumi yang terdiri dari banyak negara miskin dan berkembang. Dengan kata lain, yang dimaksud disini berarti negara mayoritas yang tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam pembuatan aturan global dan formulasi kebijakan dalam mengikuti laju developmentalis dan globalisasi. Terbaginya pengelompokan “Utara-Selatan” erat dengan peninggalan politik imperialism dan kolonialisme di masa lampau. Banyaknya kekayaan yang terebut oleh Eropa di kawasan selatan, akhirnya menjadi milik negara Eropa dan memunculkan ketergantungan dri negara-negara selatan. Sehingga negara Eropa dan negara Utara mendominasi pasar dan perkembangan dunia modern. Sejarah dari Utara dan Selatan merupakan cerita mengenai perjuangan untuk mendapatkan suara yang lebih besar dan hasil yang lebih baik dalam tatanan ekonomi global (Thomas 1987; Adams 1993).[1]
Disini negara dunia kedua dan dunia ketiga yang mayoritsa berada di selatan memang dianggap otomatis mengikuti sistem internasional. Namun asumsi mereka menjadi berbeda karena bagi mereka ikut campur dalam sistem internasional terutama dalam perumusan kebijakan dunia hanya merupakan elemen komplementer yang mempunyai kontribusi yang minimal. Mereka belajar dari pengalaman Bretton Woods yang terlihat hnya ditentukan kebijakannya oleh lembaga-lembaga besar yang berisikan negara-negara besar. Tetapi sejak tahun 1980an, integrasi ekonomi global telah menjadi persamaan dengan kebijakan pembangunan global. Dengan kata lain, privatisasi dari perusahaan umum swasta, deregulasi, dan liberalisasi atas perdagangan, investasi, dan keuangan telah bersama-sama dimajukan sebagai kebijakan pembangunan global di selatan.
Lalu satu pertanyaan muncul. Apa kaitannya globalisasi dan developmentailsme serta pembangunan di selatan?. Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin perlu untuk dipahami bahwa konsep utara selatan itu muncul akibat meluasnya kapitalisme. Negara yang kaya akan terus melakukan pemanfaatan sumber daya negara miskin dan negara miskin akan bergantung ada negara kaya untuk memenuhi kebutuhannya. Sistem internasional ini yang menyebabkan adanya pembagian kelompok masyarakat yaitu negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang, atau yang sekarang disebut dengan kesenjangan Utara-Selatan (North-South). Negara Utara umumnya maju, memliki industri besar dan kemajuan teknologi yang mumpuni. Ini berakibat pada kesejahteraan ekonomi dan munculnya kapitalis. Kemunculan kapitalis membuat usaha industri merasa perlu melakukan ekspansi industry yang beruung pada penguasaan pasar global. Sebaliknya, negara selatan umumnya negara berkembang dan relatif miski (the Third World). Oleh karena itu, banyak negara maju yang menguasai negara-negara ini demi manambah profit dan pemasukannya.
Untuk itu perlu adanya satu konsep yang mampu memperbaiki kondisi south agar terus mengembangkan pembangunan yang lebih kuat. Salah satu cara untuk merealisasikan hal ini dengan mamanfaatlkan industrialisasi sebagai jalan untuk melaksanakan pembangunan, mencapai kemakmuran, meningkatkan kesejahteraan. Pada artikel ini salah satu focus kajian terminology kata south memang tertuju pada Amerika Latin pasca perang dunia dua yang masih memeliki tingkat ketergantungan besar dengan ekspor sebagai komoditas utama dan kecenderungan ekspor ada pada komoditas hasil pertanian yang notabene harganya masih stagnan.
Ketergantungan ini membentuk satu ketimpangan baik secara ekonomi maupun sosial. Lembaga-lembaga moneter besar seperti IMF, Bank Dunia dan Bretton Woods masih dinilai lemah dalam mengaplikasikan kebijakan ke dalam negara berkembang yang tentu semakin memperlihatkan kesenjangan Utara-Selatan. Misal saja pada pembuatan kebijakan IMF dimana Amerika Serikat mempunyai porsi terbesar dalam penentuan IMF tersebut. Negara Utara percaya bahwa proteksionisme ekonomi di tahun 1930an telah menimbulkan ketidakstabilan internasional.[2] Secra tidak langsung ini justru menghadirkan skeptis tersendiri bahwa kunci utama dalam menciptakan perdamaian dan kemakmuran adalah penerapan liberialisme ynag ternyata penerapannya kurang berpihak pada negara kecil.
Dalam usahanya “menguasai” negara-negara selatan, negara-negara Utara berusaha melakukan bentuk pemerintahan politik yang keadaan pasar dibawah aturan penuh masyarakat/pekerja dan menghapus aturan pemerintah dalam pengoperasian pasar ( Ruggie, 1992). Hal ini juga memberikan indikasi bahwatelah ada satu shifting sistem ekonomi yang awalnya bersifat Keynesian ( adanya campur tangan negara) kea rah yang lebih liberal berbasis pasar Hal ini jelas, disadari atau tidak, sebenarnya cenderung merugikan Selatan yanga hanya dianggap pasar dan sumber bahan mentah bagi industri mereka. Atas dasar kecenderungan ini lah akhirnya gerakan kolektif mulai dibentuk seperti Non Blok, ECOSOC (Economic and Social Council) dan United Nations Conference on Trade and Development atau UNCTAD. Keberadaan gerakan kolektif ini tentu memberi ancaman tersendiri bagi negara-negara kuat terutama jika membahas konteks yang ada pada perang dingin. Pada tahun 1970-an inilah pencapaian bagi negara Selatan dalam partisipasinya terhadap percaturan ekonomi politik internasional (Williams 1994: 60-62).[3]
Adanya perkembangan dan pergeseran sistem yang menjadi liberal seperti dalam Washington Consensus yaitu kebijakan yang bersumber pada integrasi ekonomi global yang bisa dicapai dengan melakukan perdagangan bebas yang pada akhirnya pertumbuhan dan keuntungannya pun akan merata ke masyarakat luas. Namun tanpa adanya peran pemerintah membuat perekonomian global menjadi less political yang malah menjadikan pertumbuhan ekonomi negara selatan menjadi lambat karena proteksi dari negara maju yang memanfaatkan institusi internasional untuk memberi pinjaman kepada negara berkembang. Akan tetapi justru hal ini semakin menghancurkan negara berkembang karena mereka akan kesulitan atau bahkan tidak mampu melunasi hutang-hutang dari negara peminjam. Sehingga jelas adanya bahwa keberadaan institusi ekonomi menjadi bertentangan dengan klaim utamanya sebagai stabilisator ekonomi dunia dan hanya semata menguntungakn negara maju
Jadi, globalisasi dalam pembentukan pasar serta developmentalisme mulai mengendalian pembangunan nasional di selatan yang berdasarkan ideology liberal sejak perang dunia dua berakhir. Namun dalam penerapannya, globalisasi dan developmentalisme masih, menurut saya kurang mampu menjelaskan bagaimana posisi negara berkembang seperti negara-negara selatan yang padahal dijanjikan ketika liberalism diterapkan maka kestabilan akan lebih mudah diciptakan. Negara selatan yang notabene masih kurang mampu bersaing dengan utara semakin terpuruk keberadaannya setelah globalisasi muncul dan upaya-upaya developmentalisme dilakukan. Kehadiran institusi semakin memperparah kondisi ini. Memang tidak mudah dalam melepaskan ketergantungan atas negara utara terutama dalam hal ekonomi dan politik sehingga mungkin saja diperlukan suatu bentuk radikal yang merekonstruksi sistem politik dan ekonomi dunia yang hingga saat ini masih dinilai memberatkan negara berkembang.Walaupun berbagai upaya kritik dilakukan oleh negara berkembang secara kolektif kepada institusi seperti WTO ( WTO Doha 2003) namun tetap saja dalam prakteknya masih terkesan belum dihiraukan.

Referensi :
Caroline Thomas. 2006. Globalization and Development in the South, dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press

[1] Caroline Thomas. 2006. Globalization and Development in the South, dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press, hal. 419.
[2] Caroline Thomas. 2006. Globalization and Development in the South, dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press, hal 420
[3] Ibid, hal. 421.

Senin, 07 Juni 2010

Pandangan Konstruktivisme dalam HI


Konstruktivisme pertama lahir di dalam situasi yang tengah terjadi perdebatan-perdebatan teori besar seperti halnya realisme, liberalisme, neorealisme, dan neoliberalisme. Ketiga teori besar ini dapat juga dikatakan sebagai teori alira materialism-rasionalisme. Disamping itu juga terjadi perdebatan-perdebatan atau kritik-kritik yang dilakukan oleh teori aliran reflektivis seperti teori marxisme, feminisme, dan posmodernisme, Perdebatan antara aliran materealime-rasionalisme dengan kaum reflektivis seperti ajaran marxis dan feminis sebenarnya dapat dikaitkan dengan pondasi umum ilmu hubungan internasonal. Dua anggapan yang berbeda muncul dari dua kubu yang berlawanan ini. Pandangan aliran reflektivis yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang berada di luar sana pasti mendapatkan pengaruh dan saling berinteraksi dengan lingkungan terhadap konstruksi ilmu pengetahuan bersebeangan dengan apa yang diasumsikan oleh aliran rasionalis bahwa segala sesuatu yang bersifat fakta materi yang berada di luar sana akan bersifat independen dari ilmu pengetahuan yang mana itu bisa berarti interaksi lingkungan tidak akan berpengaruh terhadap perkebangan ilmu pengetahuan karena dianggap merupakan kebenaran mutlak. Segala hal yang terjadi pada dasarnya merupakan hasil dari interaksi social dan konstruksi sosial yang mana dapat dipahami bahwa dengan kata lain kaum reflektivis menganggap bahwa fakta itu sebenarnya tidak ada dan sebaliknya, kaum rasionalis menganggap bahwa fakta itu sebenarnya ada.
Di tengah situasi kebingungan inilah konstruktivisme lahir. Dapat dikatakan bahwa paham baru ini lahir sebagai mata rantai penghubung terhadap perbedaan yang begitu mendasar antara teori rasionalis dengan reflektivis. Secara mendasar, teori konstruktivisme memberikan pandangan umum bahwa sebenarnya sesuatu yang dianggap fakta atau realitas ilmiah itu bukanlah sesuatu yang alamiah. Alamiah dalam arti muncul begitu saja. Realitas sosial tidak bisa muncul secara sendirinya. Ini artinya realitas sosial tidaklah bersifat independen dari segala bentuk interaksi akan tetapi juga tidak benar jika realitas ilmiah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat nihil atau hanya refleksi dari ide pemikiran manusia. Ini berarti ada penolakan terhadap dua pemikiran besar di HI yaitu rasionalisme dan reflektivisme.
Seperti apa yang saya tulis diatas bahwa teori konstruktivis merupakan mata rantai penghubung dari perdebatan dua aliran teori besar. Asumsi yang secara mendasar berbeda diatas dipertemukan ke dalam satu titik temu sehingga menghasilkan jalan tengah bagi kedua aliran. Titik temu konstrutivis terdapat pada pemahamannya tentang realitas sosial. Setelah mengkritik aliran rasionalis dan reflektivis akhirnya konstruktivis menetapkan satu argument bahwa sebenarnya realitias sosial tidak benar-benar alamiah atau ada dengan sendirinya (given) namun juga tidak sepenuhnya nihil. Realitas dunia ini dipandang sebagai satu hal yang selalu berbasis pada fakta yang secara materi dapat dibenarkan atau tidak secara empiris namun fakta itu tidak menentukan bagaimana manusia melihat realitas sosial. Disisi lain, realitas sosial hanyalah dianggap sebagai hasil dari konstruksi sosial. Di dalam salah satu tulisannya, Emanuel Adler (1997) menyatakan bahwa pandangan konstruktivis mengarah pada sudut pandang bahwa ada suatu pola dimana dunia materi paa dasarnya terbentuk dan dibentuk oleh tindakan dan interaksi manusia yang tergantung pada interpretasi terhadap dunia materi yang tentunya berbeda karena adanya perbedaan latar belakang secara normatif dan epistemik. Untuk mempermudah memahami definisi ini akan saya berikan satu bentuk analogi. Jika ingin berpakaian rapi dan resmi, yang menjadi penentu adalah pakaian apa yang akan kita pakai untuk memperlihatkan kita berdandan rapi dan resmi. Namun sebaliknya, konstruksi pikiran kitalah yang nantinya menentukan pakaian apa yang tepat dan semestinya dipakai (seperti jas dan celana kain resmi) atau mungkin akan ada sedikit keterbukaan pikiran untuk menggunakan sesuatu yang bukan disebut jas asalkan menurut pikiran kita pakaian tersebut bisa digunakan untuk menampilkan penampilan yang rapi dan resmi. Dengan kata lain konstruksi pikiran membuat realitas sosial menjadi tidak tetap dan tergantung kepada siapa yang memikirkannya.
Setelah menjelaskan secara cukup komprehensif mengenai latar dan asumsi dasar teori konstruktivis, dirasa perlu bagi penstudi Hubungan Internasional untuk memahami bagaimana konstruktivisme menaruh pandangan terhadap realitas Hubungan Internasional. Secara mendasar pandangan konstruktivis pada hubungan internasional merupakan kritik terhadap pemikiran neorealis. Pandangan mengenai dunia anarkis yang dicetuskan oleh kaum realis dan neorealist seolah bersifat alamiah dan “serba membolehkan”. Istilah “serba membolehkan” saya gunakan disini karena setiap negara memungkinkan untuk bersikap seenaknya karena tidak ada yang mampu melarang mereka. Oleh karena itu perang sering terjadi. Dalam hal ini tidak ada pihak yang mencegah perang sehingga perang terjadi karena sifat manusia yang dikatakan seperti serigala yang haus akan pertikaian. Secara konstruktivis maka dapat dinalogikan seperti ini. Jika satu negara menyerang negara lain dan ada balasan dari negara yang diserang untuk mempertahankan diri maka itu hanyalah sifat alamiah manusia atau negara yang merupakan kumpulan manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem internasional yang anarki dan sifat negara adalah berbeda. Sifat anarki bukan muncul begitu saja namun terjadi karena interaksi antar negara. Konstrutivis berargumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga membentuk struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada tujuan dan maksud yang dimiliki masing-masing. Setiap tindakan negara selalu didasari oleh maksud tertentu dengan interaksinya di lingkungan internasional dan tentunya berpengaruh terhadap bentuk sistem internasional dan sebaliknya sehingga membentuk satu bentuk ikatan saling mempengaruhi yang nantinya berujung pada pembentukan satu sistem yang mengatur perilaku negara.
Kritik terhadap neorealist tidak berhenti pada sistem anarki saja. Mengenai distribution of power juga dianggap kurang tepat. Distribution of power bagi neorealist dipercaya aan berpengaruh pada tindakan rasionalitas tiap negara, namun bagi konstruktivis, rasionalitas tidak akan muncul jika tidak ada distribution of knowledge. Distribusi pengetuhan inilah yang nantinya akan membentuk konsepsi mengenai siapa teman dan siapa lawan dari negara tersebut yang muncul karena adanya collective meanings . Sebagai contoh mengapa AS menganggap kepemilikan nuklir Iran berbahaya oleh AS bagi keamanan dunia dan dirinya namun kepemilikan nuklir Inggris tidak membahayakan negara manapun? Ini karena adanya perbedaan persepsi yang kemudian menjadi perbedaan sikap. Inggris dan AS memiliki tujuan dan maksud bersama (collective meanings), berebda dengan Iran yang tidak memiliki kebersamaan dengan AS. Jika saja tidak ada unsur kolektivitas ini, maka bisa saja Inggris juga dianggap musuh AS. Contoh lain yang paling mudah adalah apabila manusia di dunia ini telah lupa terhadap abjad maka sederhana saja, tidak akan ada lagi yang memakai abjad dan abjad akan menghilang. Seperti halnya perang dingin yang usai karena Uni Soviet tidak lagi memandang AS sebagai musuhnya.
Sebagai kesimpulan penulis dan sedikit analisa mengenai teori konstruktivisme ini ialah memang secara mendasar cukup kompleks untuk berpikir pada alur konstruktivis bagi yang baru pertama mengenalnya karena teori ini selalu berdiri ditengah teori besar yang ada seperti rasionalisme dan refleksionisme serta positivisme dengan pospositivisme dengan melakukan konstruksi ulang fakta yang telah ada dengan asumsi bahwa fakta bukanlah hal yang alamiah ada namun karena adanya bentuk interaksi. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa secara signifikan teori ini memberi pengaruh terhadap perkembangan teori dalam kajian HI. Teori yang sering disebut sebagai media a vis ini merupakan jalan tengah untuk mempertemukan teori rasionalis dan reflektivis yang seakan memberi angin segar bagi dinamika realitas hubungan internasional. Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis baru yang mampu member jalan tengah ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara. Sebagai contoh misalnya, realis tidak dapat memberikan penjelasan memuaskan mengapa Perang Dingin berakhir, dan mengapa sifat AS berbandng terbalik terhadap perkembangan nuklir di Iran dan Inggris dan terkait dengan sikap AS sebagai pembela HAM dan demokrasi namun disisi lain membiarkan Israel untuk terus melakukan serangan brutal ke Palestina dan jalur Gaza yang tidak mampu dijawab melalui teori liberalis.

Referensi:
Adler, Emanuel. 2002. Construtivism and International Relations. London : SAGE Publications Ltd.
Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations : The Key Concepts.New York : Routledge.
Linklater, Andrew. 1996. Theories of International Relations : Rationalism. New York : St. Martin Press.
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Pandangan Konstruktivisme dalam HI


Konstruktivisme pertama lahir di dalam situasi yang tengah terjadi perdebatan-perdebatan teori besar seperti halnya realisme, liberalisme, neorealisme, dan neoliberalisme. Ketiga teori besar ini dapat juga dikatakan sebagai teori alira materialism-rasionalisme. Disamping itu juga terjadi perdebatan-perdebatan atau kritik-kritik yang dilakukan oleh teori aliran reflektivis seperti teori marxisme, feminisme, dan posmodernisme, Perdebatan antara aliran materealime-rasionalisme dengan kaum reflektivis seperti ajaran marxis dan feminis sebenarnya dapat dikaitkan dengan pondasi umum ilmu hubungan internasonal. Dua anggapan yang berbeda muncul dari dua kubu yang berlawanan ini. Pandangan aliran reflektivis yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang berada di luar sana pasti mendapatkan pengaruh dan saling berinteraksi dengan lingkungan terhadap konstruksi ilmu pengetahuan bersebeangan dengan apa yang diasumsikan oleh aliran rasionalis bahwa segala sesuatu yang bersifat fakta materi yang berada di luar sana akan bersifat independen dari ilmu pengetahuan yang mana itu bisa berarti interaksi lingkungan tidak akan berpengaruh terhadap perkebangan ilmu pengetahuan karena dianggap merupakan kebenaran mutlak. Segala hal yang terjadi pada dasarnya merupakan hasil dari interaksi social dan konstruksi sosial yang mana dapat dipahami bahwa dengan kata lain kaum reflektivis menganggap bahwa fakta itu sebenarnya tidak ada dan sebaliknya, kaum rasionalis menganggap bahwa fakta itu sebenarnya ada.
Di tengah situasi kebingungan inilah konstruktivisme lahir. Dapat dikatakan bahwa paham baru ini lahir sebagai mata rantai penghubung terhadap perbedaan yang begitu mendasar antara teori rasionalis dengan reflektivis. Secara mendasar, teori konstruktivisme memberikan pandangan umum bahwa sebenarnya sesuatu yang dianggap fakta atau realitas ilmiah itu bukanlah sesuatu yang alamiah. Alamiah dalam arti muncul begitu saja. Realitas sosial tidak bisa muncul secara sendirinya. Ini artinya realitas sosial tidaklah bersifat independen dari segala bentuk interaksi akan tetapi juga tidak benar jika realitas ilmiah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat nihil atau hanya refleksi dari ide pemikiran manusia. Ini berarti ada penolakan terhadap dua pemikiran besar di HI yaitu rasionalisme dan reflektivisme.
Seperti apa yang saya tulis diatas bahwa teori konstruktivis merupakan mata rantai penghubung dari perdebatan dua aliran teori besar. Asumsi yang secara mendasar berbeda diatas dipertemukan ke dalam satu titik temu sehingga menghasilkan jalan tengah bagi kedua aliran. Titik temu konstrutivis terdapat pada pemahamannya tentang realitas sosial. Setelah mengkritik aliran rasionalis dan reflektivis akhirnya konstruktivis menetapkan satu argument bahwa sebenarnya realitias sosial tidak benar-benar alamiah atau ada dengan sendirinya (given) namun juga tidak sepenuhnya nihil. Realitas dunia ini dipandang sebagai satu hal yang selalu berbasis pada fakta yang secara materi dapat dibenarkan atau tidak secara empiris namun fakta itu tidak menentukan bagaimana manusia melihat realitas sosial. Disisi lain, realitas sosial hanyalah dianggap sebagai hasil dari konstruksi sosial. Di dalam salah satu tulisannya, Emanuel Adler (1997) menyatakan bahwa pandangan konstruktivis mengarah pada sudut pandang bahwa ada suatu pola dimana dunia materi paa dasarnya terbentuk dan dibentuk oleh tindakan dan interaksi manusia yang tergantung pada interpretasi terhadap dunia materi yang tentunya berbeda karena adanya perbedaan latar belakang secara normatif dan epistemik. Untuk mempermudah memahami definisi ini akan saya berikan satu bentuk analogi. Jika ingin berpakaian rapi dan resmi, yang menjadi penentu adalah pakaian apa yang akan kita pakai untuk memperlihatkan kita berdandan rapi dan resmi. Namun sebaliknya, konstruksi pikiran kitalah yang nantinya menentukan pakaian apa yang tepat dan semestinya dipakai (seperti jas dan celana kain resmi) atau mungkin akan ada sedikit keterbukaan pikiran untuk menggunakan sesuatu yang bukan disebut jas asalkan menurut pikiran kita pakaian tersebut bisa digunakan untuk menampilkan penampilan yang rapi dan resmi. Dengan kata lain konstruksi pikiran membuat realitas sosial menjadi tidak tetap dan tergantung kepada siapa yang memikirkannya.
Setelah menjelaskan secara cukup komprehensif mengenai latar dan asumsi dasar teori konstruktivis, dirasa perlu bagi penstudi Hubungan Internasional untuk memahami bagaimana konstruktivisme menaruh pandangan terhadap realitas Hubungan Internasional. Secara mendasar pandangan konstruktivis pada hubungan internasional merupakan kritik terhadap pemikiran neorealis. Pandangan mengenai dunia anarkis yang dicetuskan oleh kaum realis dan neorealist seolah bersifat alamiah dan “serba membolehkan”. Istilah “serba membolehkan” saya gunakan disini karena setiap negara memungkinkan untuk bersikap seenaknya karena tidak ada yang mampu melarang mereka. Oleh karena itu perang sering terjadi. Dalam hal ini tidak ada pihak yang mencegah perang sehingga perang terjadi karena sifat manusia yang dikatakan seperti serigala yang haus akan pertikaian. Secara konstruktivis maka dapat dinalogikan seperti ini. Jika satu negara menyerang negara lain dan ada balasan dari negara yang diserang untuk mempertahankan diri maka itu hanyalah sifat alamiah manusia atau negara yang merupakan kumpulan manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem internasional yang anarki dan sifat negara adalah berbeda. Sifat anarki bukan muncul begitu saja namun terjadi karena interaksi antar negara. Konstrutivis berargumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga membentuk struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada tujuan dan maksud yang dimiliki masing-masing. Setiap tindakan negara selalu didasari oleh maksud tertentu dengan interaksinya di lingkungan internasional dan tentunya berpengaruh terhadap bentuk sistem internasional dan sebaliknya sehingga membentuk satu bentuk ikatan saling mempengaruhi yang nantinya berujung pada pembentukan satu sistem yang mengatur perilaku negara.
Kritik terhadap neorealist tidak berhenti pada sistem anarki saja. Mengenai distribution of power juga dianggap kurang tepat. Distribution of power bagi neorealist dipercaya aan berpengaruh pada tindakan rasionalitas tiap negara, namun bagi konstruktivis, rasionalitas tidak akan muncul jika tidak ada distribution of knowledge. Distribusi pengetuhan inilah yang nantinya akan membentuk konsepsi mengenai siapa teman dan siapa lawan dari negara tersebut yang muncul karena adanya collective meanings . Sebagai contoh mengapa AS menganggap kepemilikan nuklir Iran berbahaya oleh AS bagi keamanan dunia dan dirinya namun kepemilikan nuklir Inggris tidak membahayakan negara manapun? Ini karena adanya perbedaan persepsi yang kemudian menjadi perbedaan sikap. Inggris dan AS memiliki tujuan dan maksud bersama (collective meanings), berebda dengan Iran yang tidak memiliki kebersamaan dengan AS. Jika saja tidak ada unsur kolektivitas ini, maka bisa saja Inggris juga dianggap musuh AS. Contoh lain yang paling mudah adalah apabila manusia di dunia ini telah lupa terhadap abjad maka sederhana saja, tidak akan ada lagi yang memakai abjad dan abjad akan menghilang. Seperti halnya perang dingin yang usai karena Uni Soviet tidak lagi memandang AS sebagai musuhnya.
Sebagai kesimpulan penulis dan sedikit analisa mengenai teori konstruktivisme ini ialah memang secara mendasar cukup kompleks untuk berpikir pada alur konstruktivis bagi yang baru pertama mengenalnya karena teori ini selalu berdiri ditengah teori besar yang ada seperti rasionalisme dan refleksionisme serta positivisme dengan pospositivisme dengan melakukan konstruksi ulang fakta yang telah ada dengan asumsi bahwa fakta bukanlah hal yang alamiah ada namun karena adanya bentuk interaksi. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa secara signifikan teori ini memberi pengaruh terhadap perkembangan teori dalam kajian HI. Teori yang sering disebut sebagai media a vis ini merupakan jalan tengah untuk mempertemukan teori rasionalis dan reflektivis yang seakan memberi angin segar bagi dinamika realitas hubungan internasional. Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis baru yang mampu member jalan tengah ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara. Sebagai contoh misalnya, realis tidak dapat memberikan penjelasan memuaskan mengapa Perang Dingin berakhir, dan mengapa sifat AS berbandng terbalik terhadap perkembangan nuklir di Iran dan Inggris dan terkait dengan sikap AS sebagai pembela HAM dan demokrasi namun disisi lain membiarkan Israel untuk terus melakukan serangan brutal ke Palestina dan jalur Gaza yang tidak mampu dijawab melalui teori liberalis.

Referensi:
Adler, Emanuel. 2002. Construtivism and International Relations. London : SAGE Publications Ltd.
Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations : The Key Concepts.New York : Routledge.
Linklater, Andrew. 1996. Theories of International Relations : Rationalism. New York : St. Martin Press.
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Minggu, 06 Juni 2010

SEDIKIT ANALISA MENGENAI GEOPOLITIK DI PAKISTAN

List mengenai kekuatan geopolitik Pakistan

Memiliki cadangan tembaga kelima terbesar dunia di Baluchistan.

Memilikia tambang batubara di Sindh sebagai tambang terbesar di dunia. Pakistan memiliki cadangan terbesar batubara setelah AS. 175 miliar ton batubara setara dengan 618 miliar barel minyak mentah.

Memiliki 25,1 seribu biliun kubik cadangan gas alam. Pakistan saat ini memiliki jumlah kendaraan yang menggunakan gas yang dikompresikan terbanyak di dunia.

● Memiliki program rudal balistik tahap lanjut disamping program nuklir.

● Memiliki program angkasa luar ‘Komisi Riset Angkasa dan Atmosfir (SUPARCO)’.

● Mengembangkan pesawat intai nir awak yang dikenal dengan nama ‘Uqaab’.

Memproduksi 21 juta ton gandum yang lebih banyak dibanding Afrika (20 juta ton) dan seluruh Amerika Latin (24 juta ton).

Produsen terbesar ‘Ghee’ (mentega), kedua terbesar produser kacang, daging kerbau, susu; produser terbesar ketiga sayur Okra, 4 terbesar produser buah aprikot, kapas, susu kambing, dan buah mangga; kelima terbesar produser susu, bawang, dan tebu; 6 terbesar produser kurma, dan 7 terbesar produser buah-buahan tropis.

Dengan potensi kekuatan seperti itu, Pakistan,dapat denganmudah mengembangkan kekuatan militernya sehingga saat ini Pakistan memiliki kekuatan militer yang tangguh, dan termasuk memiliki senjata nuklir. Konflik antara Pakistan – India, menyebabkan Islambad, terus melipatgandakan kekuatan militernya, termasuk membuat senjata nuklir. Satu-satunya negara Islam, yang memiliki arsenal nuklir adalah Pakistan. AS dan Israel berusaha menghentikan program nuklir Pakistan, tapi kalangan militer, tak ada yang menerima desakan AS dan Israel, dan Pakistan terus mengembangkan senjata nuklirnya.


Disisi lain, dari pandangan ekonomi, posisi strategis pakistan ini merupakan kunci penting bagi ekonomi di Asia selatan. Sejak dulu memang Pakistan terkenal dengan daerahnya yang berbukit sehingga menyulitkan ke utara dan barat laut. Namun saat ini setelah jalur Khyber dibuka, komunikasi ke daerah-daerah seperti afghanistan dan sebetulnya ada banyak jalur lain yang telah membuka akses pakistan bahkan ke Cina lebih dipermudah (melalui jalur Karakorum).

Garis pantai Pakistan di laut arab merupakan posisi utama jalur perdagangan laut dari timur jauh dan asia selatan dan juga antara timur tengah ke barat (eropa dan AS). Ini membuat baik pelabuhan dan bandara di Pakistan menjadi sibuk untuk berbagai macam kepentingan terutama ekonomi.

Secara politis, Posisi geostrategis pakistan seringkali dimanfaatkan oleh negara-negara besar seperti AS untuk membendung perkembangan Cina, mengontrol perkembangan Nuklir Iran, dan pertahanan Terhadap teroris di Afghanistan. Seringkali dalam hal pertahanan Pakistan menjadi “kawan” bagi AS dalam melawan teroris karena Pakistan selalu bermain di garis depan dalam melawan teroris.

Saat ini skenarionya berubah, posisi Strategis pakistan merupakan salah satu posisi kunci yang letaknya sangat dekat dengan Iran, Iraq dan Afghanistan. Dalam kasus ini, AS benar-benar mengoptimalisasinya dengan “hadir” di Pakistan demi kebijakan pre emptive AS dalam melkukan invasi ke Irak dan Afganistan dan juga mengawasi nuklir di Iran.

Dibalik semua kelebihan diatas, secara geopolitik sebenarnya Pakistan mengalami banyak isu kesejahteraan. Permasalahan mengenai tingkat sosial masyarakat,kedikatoran politik dan permasalahan hutang yang cukup signifikan. Dengan jumlah populasi yang bisa dibilang kecil di area yang cukup luas, Pakistan bisa dikatakan mengalami krisis pertumbuhan pemduduk. Kelemahan ini mebuat pakistan menjadi harus banyak bergantung dari negara lain untuk mengatasinya. Dan akhirnya, yang terpenting, Pakistan cukup pandai berdiplomasi dengan pihak lain terutama AS, hal ini seakan menutup kelemahan yang ada. Seperti contoh, Pakistan mendapat banyak bantuan dana dari AS atas upayanya dalam melawan teroris, termasuk gencarnya kecaman pakistan terhadap bom di Mumbai beberapa waktu yang lalu.



Referensi



www.usd.edu/~clehmann/pop_prob/pakistan/problems.htm

www.iris-france.org/docs/pdf/forum/2008_12_15_pakistan.pdf

www.cssforum.com.pk/css.../8432-geo-strategic-importance-pakistan.html

www.defence.pk/forums/strategic...issues/4376-geo-strategic-picture.html




PROSPEK REUNIFIKASI KOREA


Semenanjung Korea jika ditilik melalui kacamata sejarah, merupakan satu integrasi yang cukup besar pada masa lalu. Korea berada di bawah kuasa dinasti-dinasti di Cina sejak sebelum masehi. Pada tahun 668M semenanjung Korea berada dibawah kekuasaan kerajaan Shila dan membuatnya menjadi satu kesatuan politik. Namun seiring dengan pekembangannya, Korea berulang kali jatuh ke tangan pihak luar. Pada abad ke 19 misalnya, Korea berada di dalam kekuasaan Jepang dan menjadi satu arena bentrok kepentingan antara Cina dan Jepang di dalam perang Sino-Japanese. Tidak lama setelah perang tersebut berakhir, Korea tetap menjadi satu arena konflik kepentingan. Kali ini di dalam perang Rusia – Jepang atau Russo-Japanese. Keberadaan Jepang membuat Jepang secara resmi menduduki Korea hingga tahun-tahun berikutnya. Hingga akhirnya pada tahun 1919, rakyat Korea secara serempak melakukan pemberontakan atas kependudukan Jepang.

Pada era setelah perang dunia ke dua, disepakati dalam perjanjian Kairo bahwa setelah Jepang kalah perang maka Korea akan menjadi negara yang merdeka. Namun ini merupakan titik awal permasalahan baru di era perang dingin. Pada masa perang dingin, Korea justru terlibat dalam perang saudara antara Utara dan Selatan. Soviet dengan kebijakan ekspansi timur jauhnya menduduki Korea Utara dan AS dengan kebijakan pembendungannya menduduki Korea Selatan. Meski saat ini perang dingin telah berakhir dan kedua negara telah keluar dari Korea, konflik antara Utara dan Selatan tetap berlangsung hingga detik ini. Kedua negara pada dasarnya menginginkan reunifikasi namun dengan cara yang berbeda yang hingga saat ini belum ditemukan jalan tengahnya.

Kedua negara menawarkan formula reunifikasi yang berbeda. Korea Utara misalnya, mengadopsi formula reunifikasinya dari keinginan terwujudnya republik konfederasi Koryo. Formula ini menurut beberapa kaum skeptis hanyalah upaya propaganda dari Korea Utara untuk menghilangkan kebijakan anti-komunisme di Korea Selatan. Meski dalam formula ini dinyatakan adanya keinginan membentuk satu pemerintahan demokrasi Korea, namun pada kenyataannya istilah demokrasi hanya digunakan untuk membuat militer AS keluar dari Korea Selatan dan “melarikan diri” dari perjanjian perdamaian yang pernah disepakati bersama tiga negara (AS. Korea Utara, Korea Selatan). Istilah demokrasi juga digunakan Korea Utara untuk mencegah adanya serangan dari negara demokrasi lainnya karena pada prinsipnya, demokrasi tidak akan menyerang sesama demokrasi. Dari sini terlihat adanya upaya Korea Utara untuk melakukan reunifikasi memiliki kemungkinan penggunaan kekerasan.

Berbeda dengan formula yang ditawarkan Pemerintah Seoul pada 1981 meningkatkan upaya bagi unifikasi dan perdamaian. Dengan pendekatan pejabat dan di bawah pengawasan Palang Merah, sejumlah warga yang terpisah dari sanak keluarganya di satu pihak, menyeberang zona demiliterisasi di perbatasan Korsel-Korut pada 20-23 September 1985 untuk pertama kalinya sejak berakhirnya Perang Korea (1950-1953). Langkah ini diikuti dengan persiapan konferensi parlemen Selatan-Utara di desa perbatasan Panmunjom dan pembicaraan mengenai olahraga Selatan-Utara di Lausanne, Swiss.

Perbedaan kedua formula ini begitu mendasar. Korea Selatan menginginkan unifikasi dengan damai dengan menerapkan demokrasi penuh di dalam semananjung Korea, namun sebaliknya dengan Korea Utara yang menginginkan incomplete unifikasi yang mana dua pemerintahan berada dibawah konfederasi Korea. Korea Selatan juga bertujuan untuk mendirikan satu commonwealth Korea sebagai satu interim stage yang sekaligus menerapkan dan membawa detail-detail dalam unifikasi negara dengan nilai-nilai demokrasi. Termasuk menggunakan sistem council of representatives dan pemilu demokrasi. Berbeda dengan Korea Utara yang mengandalkan upaya-upaya mengkomuniskan Korea Selatan sebagai awal pembentukan satu konfederasi komunis Korea. Bahkan Korea Utara mengirimkan ancaman bagi Korea Selatan apabila formula konfederasi tidak disepakati.

Banyak sekali ketidaksepahaman dan perbedaan dalam memformulasikan upaya unifikasi yang ditawarkan baik oleh Korea Selatan dan Korea Utara. Namun meski demikian upaya ini tidaklah begitu signifikan dalam menentukan hasil. Beberapa dialog dilakukan dan meski seringkali berujung negatif, upaya ini membawa hasil positif sementara. Adanya pakta nonagresi, kerjasama ekonomi, dan rekonsiliasi pernah dicapai oleh kedua negara ini namun pada akhirnya putus karena upaya Korea Utara yang tidak taat terhadap perjanjian yang ditandatangi bersama ini.

Upaya unifikasi atau reunifikasi Korea ini tentu saja mengundang perhatian masyarakat internasional. Meski sebenarnya permasalahan unifikasi adalah permasalahn intra negara dan harus diselesaikan oleh pihak yang terkait, namun pastilah ada pihak lain utamanya pihak major power yang dapat melakukan perannya sebagai supplementary role dengan melakukan dukungan dan sebagai mediator demi terbentuknya unifikasi yang damai melalui dialog dan diplomasi oleh kedua Korea.

Banyak pemimpin dunia mendukung proses unifikasi Korea secara damai, dalam hal ini secara tidak langsung formula unifikasi Korea Selatan mendapat banyak dukungan dari negara lain, terutama AS yang menghendaki komunisme di Korea Utara dapat dihilangkan. Bahkan Cina dan Rusia yang merupakan sekutu ideologis tidak banyak bertindak nyata untuk membela Korea Utara. China hanya saja seringkali menjadi lips service bagi kepentingan Korea Utara yang seringkali dinilai tidak realistis. Oleh karena itu Korea Selatan harus terus menjalankan usahanya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendukung secara positif terhadap kebijakan unifikasi damai.

Hingga saat ini dan ke depan, banyak yang masih skeptis terhadap terwujudnya unifikasi di Korea karena memang terdapat perbedaan yang sangat mendasar yang belum dapat disatukan dan akan terus seperti ini jika tensi kedua negara terus tidak mau kalah. Korea Utara yang dalam hal ini terus bersikap provokatis terhadap Korea Selatan karena tidak menyukai keberadaan militer AS di Korea Selatan yang dirasa menghambat terwujudnya konfederasi Korea. Disisi lain, Korea Selatan yang banyak mendapatkan dukungan internasional mengganggap keberadaan tentara AS bermaksud untuk mewujudkan keadilan dan kestabilan di dua wilayah yang rawan konflik sehingga kecil kemungkinan Korea Selatan melepaskan AS dari teritorinya. Mungkin jalan keluarnya bisa melalui restrukturisasi total pemerintahan salah satu negara Korea yang mana dalam hal ini harus ada reformasi dari lapisan tertinggi hingga lapisan terendah termasuk menggulingkan pemimpin yang ada dan ideologinya atau terus diadakan upaya diplomasi dengan tawaran-tawaran tertentu yang sekiranya akan paling tidak, tidak merugikan kedua belah pihak. Meski dalam kenyataannya hal ini tidak mudah dilakukan, hal ini tetaplah solusi terbaik daripada perang.

Referensi Tjeng, Lie Tek. 1977. Studi Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya. Bandung : Penerbit Alumni.