Greetings

LET'S GET CRAZY WITH THIS BLOG



Kamis, 17 Juni 2010

Globalisasi dan Perkembangan di Selatan dalam Politik Ekonomi Internasional
Review Artikel Caroline Thomas

Pada review artikel kali ini akan lebih banyak menyoroti masalah developmentalisme sebagau suatu bentuk pertumbuhan ekonomi yang dituliskan oleh Caroline Thomas dalam artikel jurnalnya yang berjudul Globalization and Development in the South. Penulis akan sedikit menjelaskan mengenai developmnetalisme sebagai satu bentuk pertumbuhan ekonomi yang mana manjadi lebih sedrhana setelah era perang dunia kedu. Sejak masa itu, kondisi perekonomian dunia mulai lebih stabil dan mulai dapat recovery dari dampak kehancuran akibat perang dunia. Selain itu perekonomian dunia juga sudah mulai bangkit kembali setelah depresi besar terjadi. Negara-negara telah mampu memperbaiki kondisi ekonomi mereka baik local ataupun eksternal secara perlahan-lahan. Hal ini juga didukung oleh hadirnya rezim-rezim yang mengatur masalah ekonomi seperti GATT/IMF dan Bank Dunia yang memberikan regulasi mengenai kegiatan perekonomian global. Secara umum, pembangunan merupakan suatu upaya untuk memajukan struktur perekonomian yang di dasari tekad penurunan kemiskinan dan meningkatkan keadilan yang dengan kata lain bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mampu bergerak tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia sebagai subjeknya.
Pembangunan memang bukan hanya dalam taraf lingkup ekonomi saja, taraf sosial dan kesejateraan suatu negara juga menjadi suatu tolak ukur pertumbuhan pembangunan suatu negara dan tingkat taraf kehidupan penduduk di suatu negara tersebut, diukur oleh pendapatan per kapita penduduk. Disisi lain, perkembangan yang terjadi yang ikut mengiringi lahirnya developmentalisme adalah globalisasi. Bagi Hans Kohler (2002:1), globalisasi merupakan suatu proses yang terus terjadi dan terus meningkat dalam pemikiran, barang kebutuhan manusia, jasa, dan modal yang menuju integrasi ekonomi dan masyarakat.
Kembali pada focus artikel. Dalam artikel ini sering disebutkan kata “south”. Kata ini menuju pada satu klasifikasi wilayah selatan bumi yang terdiri dari banyak negara miskin dan berkembang. Dengan kata lain, yang dimaksud disini berarti negara mayoritas yang tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam pembuatan aturan global dan formulasi kebijakan dalam mengikuti laju developmentalis dan globalisasi. Terbaginya pengelompokan “Utara-Selatan” erat dengan peninggalan politik imperialism dan kolonialisme di masa lampau. Banyaknya kekayaan yang terebut oleh Eropa di kawasan selatan, akhirnya menjadi milik negara Eropa dan memunculkan ketergantungan dri negara-negara selatan. Sehingga negara Eropa dan negara Utara mendominasi pasar dan perkembangan dunia modern. Sejarah dari Utara dan Selatan merupakan cerita mengenai perjuangan untuk mendapatkan suara yang lebih besar dan hasil yang lebih baik dalam tatanan ekonomi global (Thomas 1987; Adams 1993).[1]
Disini negara dunia kedua dan dunia ketiga yang mayoritsa berada di selatan memang dianggap otomatis mengikuti sistem internasional. Namun asumsi mereka menjadi berbeda karena bagi mereka ikut campur dalam sistem internasional terutama dalam perumusan kebijakan dunia hanya merupakan elemen komplementer yang mempunyai kontribusi yang minimal. Mereka belajar dari pengalaman Bretton Woods yang terlihat hnya ditentukan kebijakannya oleh lembaga-lembaga besar yang berisikan negara-negara besar. Tetapi sejak tahun 1980an, integrasi ekonomi global telah menjadi persamaan dengan kebijakan pembangunan global. Dengan kata lain, privatisasi dari perusahaan umum swasta, deregulasi, dan liberalisasi atas perdagangan, investasi, dan keuangan telah bersama-sama dimajukan sebagai kebijakan pembangunan global di selatan.
Lalu satu pertanyaan muncul. Apa kaitannya globalisasi dan developmentailsme serta pembangunan di selatan?. Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin perlu untuk dipahami bahwa konsep utara selatan itu muncul akibat meluasnya kapitalisme. Negara yang kaya akan terus melakukan pemanfaatan sumber daya negara miskin dan negara miskin akan bergantung ada negara kaya untuk memenuhi kebutuhannya. Sistem internasional ini yang menyebabkan adanya pembagian kelompok masyarakat yaitu negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang, atau yang sekarang disebut dengan kesenjangan Utara-Selatan (North-South). Negara Utara umumnya maju, memliki industri besar dan kemajuan teknologi yang mumpuni. Ini berakibat pada kesejahteraan ekonomi dan munculnya kapitalis. Kemunculan kapitalis membuat usaha industri merasa perlu melakukan ekspansi industry yang beruung pada penguasaan pasar global. Sebaliknya, negara selatan umumnya negara berkembang dan relatif miski (the Third World). Oleh karena itu, banyak negara maju yang menguasai negara-negara ini demi manambah profit dan pemasukannya.
Untuk itu perlu adanya satu konsep yang mampu memperbaiki kondisi south agar terus mengembangkan pembangunan yang lebih kuat. Salah satu cara untuk merealisasikan hal ini dengan mamanfaatlkan industrialisasi sebagai jalan untuk melaksanakan pembangunan, mencapai kemakmuran, meningkatkan kesejahteraan. Pada artikel ini salah satu focus kajian terminology kata south memang tertuju pada Amerika Latin pasca perang dunia dua yang masih memeliki tingkat ketergantungan besar dengan ekspor sebagai komoditas utama dan kecenderungan ekspor ada pada komoditas hasil pertanian yang notabene harganya masih stagnan.
Ketergantungan ini membentuk satu ketimpangan baik secara ekonomi maupun sosial. Lembaga-lembaga moneter besar seperti IMF, Bank Dunia dan Bretton Woods masih dinilai lemah dalam mengaplikasikan kebijakan ke dalam negara berkembang yang tentu semakin memperlihatkan kesenjangan Utara-Selatan. Misal saja pada pembuatan kebijakan IMF dimana Amerika Serikat mempunyai porsi terbesar dalam penentuan IMF tersebut. Negara Utara percaya bahwa proteksionisme ekonomi di tahun 1930an telah menimbulkan ketidakstabilan internasional.[2] Secra tidak langsung ini justru menghadirkan skeptis tersendiri bahwa kunci utama dalam menciptakan perdamaian dan kemakmuran adalah penerapan liberialisme ynag ternyata penerapannya kurang berpihak pada negara kecil.
Dalam usahanya “menguasai” negara-negara selatan, negara-negara Utara berusaha melakukan bentuk pemerintahan politik yang keadaan pasar dibawah aturan penuh masyarakat/pekerja dan menghapus aturan pemerintah dalam pengoperasian pasar ( Ruggie, 1992). Hal ini juga memberikan indikasi bahwatelah ada satu shifting sistem ekonomi yang awalnya bersifat Keynesian ( adanya campur tangan negara) kea rah yang lebih liberal berbasis pasar Hal ini jelas, disadari atau tidak, sebenarnya cenderung merugikan Selatan yanga hanya dianggap pasar dan sumber bahan mentah bagi industri mereka. Atas dasar kecenderungan ini lah akhirnya gerakan kolektif mulai dibentuk seperti Non Blok, ECOSOC (Economic and Social Council) dan United Nations Conference on Trade and Development atau UNCTAD. Keberadaan gerakan kolektif ini tentu memberi ancaman tersendiri bagi negara-negara kuat terutama jika membahas konteks yang ada pada perang dingin. Pada tahun 1970-an inilah pencapaian bagi negara Selatan dalam partisipasinya terhadap percaturan ekonomi politik internasional (Williams 1994: 60-62).[3]
Adanya perkembangan dan pergeseran sistem yang menjadi liberal seperti dalam Washington Consensus yaitu kebijakan yang bersumber pada integrasi ekonomi global yang bisa dicapai dengan melakukan perdagangan bebas yang pada akhirnya pertumbuhan dan keuntungannya pun akan merata ke masyarakat luas. Namun tanpa adanya peran pemerintah membuat perekonomian global menjadi less political yang malah menjadikan pertumbuhan ekonomi negara selatan menjadi lambat karena proteksi dari negara maju yang memanfaatkan institusi internasional untuk memberi pinjaman kepada negara berkembang. Akan tetapi justru hal ini semakin menghancurkan negara berkembang karena mereka akan kesulitan atau bahkan tidak mampu melunasi hutang-hutang dari negara peminjam. Sehingga jelas adanya bahwa keberadaan institusi ekonomi menjadi bertentangan dengan klaim utamanya sebagai stabilisator ekonomi dunia dan hanya semata menguntungakn negara maju
Jadi, globalisasi dalam pembentukan pasar serta developmentalisme mulai mengendalian pembangunan nasional di selatan yang berdasarkan ideology liberal sejak perang dunia dua berakhir. Namun dalam penerapannya, globalisasi dan developmentalisme masih, menurut saya kurang mampu menjelaskan bagaimana posisi negara berkembang seperti negara-negara selatan yang padahal dijanjikan ketika liberalism diterapkan maka kestabilan akan lebih mudah diciptakan. Negara selatan yang notabene masih kurang mampu bersaing dengan utara semakin terpuruk keberadaannya setelah globalisasi muncul dan upaya-upaya developmentalisme dilakukan. Kehadiran institusi semakin memperparah kondisi ini. Memang tidak mudah dalam melepaskan ketergantungan atas negara utara terutama dalam hal ekonomi dan politik sehingga mungkin saja diperlukan suatu bentuk radikal yang merekonstruksi sistem politik dan ekonomi dunia yang hingga saat ini masih dinilai memberatkan negara berkembang.Walaupun berbagai upaya kritik dilakukan oleh negara berkembang secara kolektif kepada institusi seperti WTO ( WTO Doha 2003) namun tetap saja dalam prakteknya masih terkesan belum dihiraukan.

Referensi :
Caroline Thomas. 2006. Globalization and Development in the South, dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press

[1] Caroline Thomas. 2006. Globalization and Development in the South, dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press, hal. 419.
[2] Caroline Thomas. 2006. Globalization and Development in the South, dalam John Ravenhill, Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press, hal 420
[3] Ibid, hal. 421.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar