Greetings

LET'S GET CRAZY WITH THIS BLOG



Minggu, 31 Oktober 2010

Pasar Uang dan Regulasi dalam Finansial Global
Pada paper kali ini penulis akan mencoba memberikan sedikit penjelasan singkat tentang sistem keuangan internasional dan bisnis internasional. Untuk membuat tulisan ini lebih komprehensif maka penulis akan berpedoman pada beberapa pertanyaan dasar yaitu apa itu pasar uang, bagaimana pasar tersebut bekerja, apa pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap para pelaku bisnis dan yang terakhir sejauhmana regulasi diperlukan di dalam globalisasi finansial. Tulisan ini akan menjawab ringkas pertanyaan-pertanyaan diatas yang dilengkapi dengan pendapat para ahli serta penulis secara individu.
Pertama, pasar uang atau money market merupakan pasar dengan instrument finanisal jangka pendek yang umumnya diperjualbelikan dengan kualitas dan harga yang tinggi. Jangka waktu instrument pasar uang biasanya jatuh tempo dalam waktu sekitar satu tahun. Pasar uang juga sering dikenal sebagai pasar kredit jangka pendek. Dalam hal mekanismenya pasar uang berbeda dengan pasar modal yang biasanya aktifitas pertukaran dilakukan dengan melalui bursa. Pasar uang bersifat abstrak artinya tidak terikat pada lokasi atau tidak membutuhkan tempat khusus dan transaksi dalam pasar uang dilakukan secara OTC (Over the Counter Market) dan dilakukan oleh setiap peserta pasar uang melalui dealing room tiap peserta
Pasar uang sangat erat kaitannya dengan nilai tukar mata uang dan nilai tukar mata uang atau biasa disebut kurs dalam pandangan penulis adalah satu hal yang bersifat sangat dinamis karena fluktuasinya yang tiada henti. Dalam kajian bisnis internasional tentunya seorang pebisnis wajib memahami fluktuasi ini dan bagaimana cara mengondisikannya. Fluktuasi nilai tukar sangatlah dipengaruhi oleh banyak hal untuk itu pebisnis perlu memahaminya dengan baik. Fluktuasi nilai tukar ini juga berpotensi untuk menghadirkan resiko. Sebagai contoh jika perusahaan AS melakukan ekspor ke Jepang, umumnya AS ingin dibayar dengan dolar namun apabila pada kesepakatannya perusahaan AS ini mau dibayar menggunaan Yen maka perusahaan AS harus menanggung resiko apabila nilai Yen turun terhadap dolar karena dengan demikian Yen hanya mampu membeli sedikit dolar ketika pembayaran diterima daripada ketika barang dikirimkan. Dalam hal ini tentu perusahaan AS mengalami kerugian namun disisi lain jika akhirnya pembayaran disetujui dengan dolar maka perusahaan Jepanglah yangharus menanggung resiko fluktuasinya. Untuk menanggulangi hal ini maka pelaku bisnis wajib memahami kondisi-kondisi yang bersifat fundamental yang dapat mempengaruhi fluktuasi mata uang seperti besaran campur tangan pemerintah, tingkat kesejahteraan dan keamanan negara serta adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang sekiranya dapat mempengaruhi munculnya krisis ekonomi[1].
Jika penjelasan diatas disambungkan pada pertanyaan pokok ketiga maka penjelasan akan menghasilkan satu peryataan bahwa regulasi itu perlu dalam iklim financial global seperti saat ini. Peredaran modal yang terjadi akibat adanya globalisasi kapitalisme akhir-akhir ini sangat perlu untuk dilakukan kontrol dan regulasi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Philipe Legrain yang mengatakan bahwa investor adalah spekulan yang mana hanya berorientasi pada profit semaksimal mungkin tanpa mempelajari aspek krisis yang mungkin terjadi seperti halnya inflasi dan gelembung ekonomi (Buble). Disini peran negara amat penting sebagai variable control terhadap pasar untuk mencegah kejatuhan pasar. Namun ironisnya tidak semua negara dapat melakukan ini dengan baik terutama jika negara tersebut miskin atau merupakan negara berkembang. Probabilitas kegagalan dalam kontrol besar terjadi dan pada akhirnya rakyat yang menjadi korban. Untuk mencegah hal ini maka pemerintah perlu untuk mejalin negosiasi dengan para investor dalam membuat aturan-aturan dalam berinvestasi di dalam wilayah negaranya.
Pada era finansial globalisasi ini modal menjadi satu benda yang layak diperjualbelikan dan hal ini tidak selamanya menguntungkan bagi para pelaku ekonomi mengapa demikian? Ini diakibatkan adanya resiko inflasi dan krisis finansial yang terjadi namun sebaliknya jual beli kapital akan sangat menguntungkan jika kondisi ekonomi, politik dan keamanan terjamin. Kerugian besar akan perdagangan kapital ini dapat ditelaah dari krisis ekonomi Asia tahun 1997 lalu. Disini terlihat saat perekonomian sedang sulit, para investor yang panik akan berebut menarik sahamnya dan kemudian meng-uang-kannya. Disinilah letak kesalahannya. Uang dalam jual beli saham dan modal bersifar imajiner artinya uang tidak benar-benar nyata dan ketika saham akan ditukar dengan uang saat negara sedang krisis maka yang akan terjadi adalah uang yang tidak imajiner tidak akan mencukupi untuk menukar saham dan modal tersebut akibatnya inflasi terjadi dan nilai tukar akan anjlok. Inilah sebab kenapa investor dianggap sebagai seorang yang spekulatif (spekulan).
Sejak sistem keuangan dirubah menjadi floating exchange rate. Begitu sering terjadi krisis finansial. Sebelumnya pun akibat adanya spekulasi investor seperti dijelaskan diatas krisis serupa terjadi yang dikenal sebagai Great Depresion. Hingga saat ini pun seolah para investor tidak memetik pelajaran dari sejarah. Krisis terus berulang dan yang terbaru puncaknya ada pada tahun 1997 dan 2008 yang disebabkan oleh kebijakan hutang yang kurang transparan serta adanya pengaliran modal yang tidak terkontrol. Senada dengan yang disebutkan Michael Camdessus ‘Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi’. Disini maka dapat dipastikan bahwa ketidak-terkontrolnya globalisasi finansial akan berpengaruh luas pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat dan parahnya hal ini juga memungkinkan untuk dapat menyebar ke wilayah lain diluar negara. Hal ini terbukti disaat krisis 1997 dimana Bath turun tajam sehingga negara-negara Asia terutama Asia Tenggara yang sangat bergantung pada ekspor panik. Saham-saham yang dipasarkan dibursa saham banyak mengalami penurunan drastis hingga ditutup sementara. Negara yang bergantung pada Thailand atau yang telah berinvestasi di Thailand menarik semua sahamnya sehingga nilai investasi melemah. Upaya-upaya pun dilakukan seperti paket paket penyelamatan oleh IMF 16 milyar dolar AS, bantuan tunai, dan sebagainya. Namun menurut saya sekali lagi pelaku bisnis seolah tidak mampu belajar dari sejarah kelam ekonomi dunia. Adanya spekulasi yang menyebabkan depresi besar di AS pada tahun 1930an tidak dimaknai hikmahnya. Uang sebagai komoditas riil yang semestinya digunakan untuk jual beli sekarang diperdagangkan sebagai saham dan modal sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi liberal dimana pelaku ekonomi itu rasional. Dengan hal ini penulis mengatakan tidak rasional lagi karena uang yang ada di pasar modal itu bersifat imajiner dan hanya klaim hitam diatas putih (oleh lembar-lembar saham dan surat permodalan) dan pada akhirnya krisislah yang terjadi dan meskipun ada regulasi dari pemerintah tapi tetap tidak menjamin optimal volatilitas akan terkontrol.

Referensi:

Hadar, Ivan.nd. Jalan Ketiga Bukan Sekedar Jalan Tengah. Diakses dari www.unisosdem.com
John.J.Wild, Kenneth L. Wild and Jerry C.Y.Han.2008. International Business: The Challenges of Globalization. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. 1999. The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5
Legrain, Phillipe.nd.Financial Failings: Why Global Money Should Be Caged.sl




[1] John J. Wild, Kenneth L. Wild dan Jerry C.Y.Han dalam International Business: The Challenges of Globalization. Chapter 10: The Determination of Exchange Rates.2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar